Dr. Rahel Muhammad Gharayibah
Penulis sering melakukan komunikasi dengan sejumlah warga wanita Al-Quds yang hidup dan menghadapi aksi yahudisasi di tengah-tengah usaha ekstrimis Yahudi yang terus berusaha membangun kuil Solomon di reruntuhan Masjid Al-Aqsha nantinya secara perlahan dan sistematis dengan dukungan pemerintah penjajah. Sementara itu bangsa Arab hanya lebih banyak diam.
Wanita Al-Quds terpaksa datang secara intens dan berthan sepanjang hari dan malam. Bahkan mereka meminta untuk meminta bantuan kepada warga kota lainnya agar tempa suci tetap terjaga dan warganya pun sadar menjaganya menghadapi organisasi ekstrim yahudi. Mereka berusaha menghalagi rencana dan langkah-langkah yahudisasi yang dibungks dengan undang-undang Knesset (parlemen Israel). Undang-undang yang memberikan izin menggelar ritual di halaman dan masjid Al-Aqsha bagi warga Yahudi serta masjid tersebut menjadi dua antara yahudi dan umat Islam seperti yang sudah pernah terjadi dengan Masjid Ibrahimi.
Dalam hal perlawanan rakyat yang semakin panas wanita-wanita Al-Quds harus diapresiasi dan dihargai. Mereka memiliki peran besar dan mewujudkan dan menyukseskan program “ribath” di Masjid Al-Aqsha melalui kelompok-kelompok wanita yang secara bergantian hadir itikaf shalat dan bejaga sepanjang hari di sana. Wanita-wanita Al-Quds itu mengingatkan peran muslimah generasi pertama Islam yang ikut dalam jihad dan perang bersama Rasulullah dan bersama para penakluk negeri-negeri dari kalangan sahabat dalam perang Qadisiyah Yarmuk dan lainnya.
Perlawanan rakyat di Al-Quds juga tak lepas dari peran Syaikur Ribath Syekh Raid Shalah yang mengomandoi aksi perlawana damai di Masjid Al-Aqsha. Dari setiap kota dan desa warga diarahkan beliau ke sana untuk memakmurkan Masjid. Meski hambatan dan rintangan cukup besar yang sistematis dari Yahudi namun mereka tak peduli risiko itu.
Program Ribath yang dilakukukan wanita Al-Quds dan sejumlah pemuda Palestina di sana dan sekitarnya memiliki pengaruh efektif dalam konfrontasi dengan aksi yahudsasi yang dilakukan Israel. Semua umat di luar Palestina seharusnya memiliki peran dalam mendukung mereka secara riil dengan memberikan dukungan dana opini advokasi media.
Pejuang ribath Al-Aqsha ibarat memegang bara api dalam menghadapi Israel. Perjuangan mereka layak menjadi ibrah dan pelajaran. Hampir setiap hari mereka rela melepaskan nyawa dan terluka. Bukan hanya itu ribuan warga Palestina menjadi korban penangkapan dan kini ditahan di penjara Israel. Dari generasi ke generasi merekalah estafet perlawanan.
Tatkala Asy-Syahid Syekh Ahmad Yasin dirawat di Amman Jordania di depan semua media internasional meminta satu permintaan kembali ke Al-Quds dan tanah air yang masih dijajah oleh Zionis. Beliau tidak memilih menghormati pejuang Al-Quds dari luar negeri Palestina meski akhirnya tidak bisa kembali ke sana. (bsyr)