Muhammad Khalid Azar
(El-Bayan Emiret)
Dalam kebanyakan rekaman dan buku-buku zionisme terkait dengan managemen konflik dengan Arab para pengamat dan politikus zionis berusaha menggagalkan dasar-dasar histories dan falsafah gagasan bahwa bangsa Arab memiliki hak untuk mengungkapkan tentang sistemasi eksistensi dirinya baik dalam satu negara sebagai ukuran maksimal atau system regional kebangsaan seperti model Liga Arab sebagai ukuran minimal.
Literatur-literatur zionis dan Israel tidak menyikapi sejarah Arab dengan kacamata komperhensif dan integral. Namun mereka menawarkan kepada bangsa Arab dengan sejumlah ?sejarah? yang mencakup suku etnis agama kelompok kerajaan kecil kesultanan pemerintahan bangsa-bangsa dalam minoritas dan mayoritas. Melalui pemetakan-pemetakan semacam ini dibentuklah komunitas-komunitas sosio politik umum di kawasan regional Arab yang dikemas dengan suasana konflik tarik menarik dan keterpecahan. Setiap yang melihatnya tidak akan yakin ada budaya kebangsaan yang satu di kawasan ini. Sehingga eksistensi Yahudi dan negara mereka di tengah komunitas semacam ini dulu dan sekarang menjadi hal yang dipahami dan alasan sehingga harus dibela.
Karena sejarah tidak menerima tindakan permainan rendah semacam ini maka zionis dan para pendukungnya dituntut untuk menafsirkan paradok riwayat sejarah ini yang menjadi pembenaran atas politik mereka terutama terhadap bangsa Palestina. Ketika riwayat yang dibawah Israel ini menafikan integritas sejarah social budaya politik ekonomi bangsa Arab dengan bentuk kelompok-kelompok Timur Tengah maka sesungguhnya mengharuskan keyakinan keberhakan Palestina dalam sebuah eksistensi politik (negara misalnya) sebagai sebuah bangsa. Kenapa kemudian Palestina harus dikecualikan dalam keberhakan mereka menentukan nasibnya?
Namun yang lebih penting dari itu riwayat dan sumber penganutan politik ini mengharuskan sisi lain yaitu keyakinan eksistensi bangsa Arab dan kecenderungan menuju persatuan dan kebersamaan nasib. Bagaimana tidak sementara gerakan zionisme dan Israel menyerukan sejak 60 tahun yang lalu untuk membaurkan para pengungsi Palestina dan diberi kewarganegaan di negara tempat mereka mengungsi karena dianggap ?Arab di antara bangsa Arab?.
Kenapa pandangan para teoritis Israel menjadi buta terhadap batasan-batasan yang mengharuskan persatuan nasiolisme Arab apalagi batasan itu mendukung solusi masalah sulit bagi Israel seperti nasib pengungsi Palestina? Dengan logika yang sama ada pertanyaan kenapa Israel takut menghadapi Arab baik sendiri atau bersama selama menurut Israel Arab tidak memiliki factor kebersatuan.
Dengan kata lain literature dan politik Israel tidak mengakui aroma nasionalisme Arab di kawasan regional mereka. Ini sebagai alasan untuk menerima eksistensi Israel di kawasan Arab sebagai salah satu komunitas yang terpecah-pecah itu.
Secara lahir sedikit sekali sumber-sumber zionisme paradoks ini kemudian mereka mengizinkan didirikan negara Palestina terlebih dulu kemudian disusul pemulangan pengungsi Palestina. Dengan demikian terwujud perkataan ?kami di sini dan mereka di sana dua negara dua bangsa?.
Secara lahir gagasan ini tanpak logis. Namun intinya terdapat kejahatan-kejahatan berat. Di antaranya ini bertentangan dengan pemahaman hak kembali pengungsi yang dijamin undang-undang internasional dan HAM yakni pengungsi Palestina kembali ke kampung halaman mereka yang ditinggalkannya.
Di sisi lain negara Palestina yang dijadikan tujuan kembalinya Palestina terletak di batas-batas jajahan tahun 1967. Karena Israel menyadari bahwa dua emosional terhadap hak kembali ke neagara ini hanya dimaksudnya agar Palestina menerima rela melepaskan diri dari makna hak kembali yang sesungguhnya.
Di sisi yang lain lagi mereka lupa bahwa Israel menguasai 22% wilayah jajahan antara tahun 1948 hingga 1967. kalau Israel obyektif seharus wilayah itu dikembali kepada pengungsi Palestina yang kembali.
Perlu ditegakan di sini kelompok di Israel yang menggagas hak kembali ala persepsi mereka beralasan akan integritas nasional. Mereka bertanya hubungan pengungsi itu dengan kampung halaman mereka yang asli yag berada di bawah kekuasaan Israel.
Pertanyaan ini harus diarahkan kepada Israel yang lebih memecah belah wilayah Palestina. Ini berarti ada dua hal yang: kemungkinan Israel tidak ingin negara Yahudi murni atau mereka menyembunyikan keinginan membersihkan Arab Palestina yang asli. (atb)