Muhammad Abid
Tujuan langkah elit Palestina ke DK PBB meminta voting atas resolusi menghapus penjajahan Israel di wilayah Palestina jajahan 1976 pada Rabu kemarin adalah berharap bisa menggulirkan perundingan perdamaian yang selama ini stagnan. Selain itu juga ingin menyadarkan masyarakat dunia terkait permasalahan Palestina.
Tuntutan yang diajukan elit Palestina bukan hal baru atau asing dari sisi praktis. Sebab Otoritas Palestin pimpinan Abbas menyadari sepenuhnya tidak akan ada perundingan kembali yang akan diambil penjajah Israel. Dimana Israel menggunakan perundingan sebagai alat melancarkan rencana-rencana ekspansi penjajahan atau menghilangkan kesempatan mendirikan negara Palestina yang utuh dan layak hidup sesuai klasifikasi masyarakat internasional.
Secara praktis tidak ada yang bisa memperkirakan PBB akan mampu mengeluarkan resolusi tersebut atau bahkan hanya sekadar membahasnya saja. Sebab saat ini sedang keras-kerasnya dalam bersikap bersama poros barat koalisi Israel. Mereka lebih mengutamakan digulirkan perundingan bukan mengeluarkan resolusi mengakhiri penjajahan.
Di sisi lain jika rancangan penghapusan penjajahan ini terus dilanjutkan tidak akan sempurna unsur-unsurnya. Makna praktisnya adalah mendirikan Negara. Dan itu pasti membutuhkan pengakuan internasional dari PBB dan organisasi-organisasi cabangnya. Sehingga tuntutan ini mengharuskan cakupan pengakuan jelas terhadap Negara Palestina.
Mungkin ada yang menyatakan ada 132 negara mengakui Palestina secara resmi dan sejumlah parlemen barat cukup banyak mengeluarkan undang-undang yang tidak mengikat kepada pemerintah mereka untuk mengakui Palestina. Pengakuan ini kemungkinan terus akan menggelinding. Setelah parkemen Inggris Spanyol Perancis Irlandia Portugal. Semua itu sebenarnya hanyalah awal dari perjalanan panjang yang sulit. Membutuhkan senjata-senjata polisi dan strategi mewujudkan tujuan.
Pengakuan Negara dalam hukum internasional tunduk kepada teori-teori yang sangat banyak terutama teori “pendirian” dimana pengakuan internasional menjadi syarat utama “berdirinya” sebuah Negara dan diberikan “kepribadian” hukum internasional kemudian digabungkan ke dalam PBB dan organisasi-organiasi internasional lainnya. Negara Palestina dalam konteks teori-teori ini akan menjadi kemustahilan. Sebab sekutu-sekutu penjajah ‘Israel’ di Amerika dan barat masih menolak mengakui Palestina. Karena itu sehingga teori inilah yang paling realistis diterapkan.
Mengkombinasikan dua teori di atas muncul teori realistis yang menilai bahwa “pengakuan” itu memiliki dua sisi pertama pendirian yang didasarkan kepada pemberian kepada Negara yang diakui hak-hak hukum. Kedua penetapan yang didasarkan kepada bahwa Negara bersangkutan yang akan diakui memiliki hak-hak yang ditetapkan oleh dunia internasional.
Apapun semua yang diperdebatkan tersebut hanya berada dalam teori yang bisa dibatalkan baik oleh satu Negara atau kumpulan Negara yang berkomitmen. Dari sini maka “mengandalkan kepada realita di lapangan” adalah sarana satu-satunya dalam pertempuran tak tidak seimbang ini. Ini membutuhkan strategis jelas head to head menggalang dukungan membuat tekanan kepada dunia internasional secara umum dan barat secara khusus. Sebab mereka tidak akan memberikan Negara kepada Palestina secara cuma-cuma. (El-Haleej Emirat/at/infopalestina.com)