Husam Aitani
(El-Hayat London)
Diskusi soal tuntutan Benjamen Netanyahu kepada Palestina agar mengakui “yahudisme negara Israel” sebagai syarat maju ke perundingan di public Israel saat ini sangat jarang.
Kontroversi dan polemic internal Israel paling ramai saat ini adalah soal kelompok-kelompok agama dan pengaruhnya terhadap kehidupan social hubungan antara kelompok dan lembaga negara serta peran minoritas agama dan hak-haknya. Meski urgensi masalah ini kaitannya dengan perubahan demografi kelompok dan sekte yahudi yang berbeda-beda dan meningkatnya ketegangan hubungan antara yahudi dan warga Palestina di wilayah jajahan 1948 namun tidak ada perbedaan mendalam antara yahudi di Israel soal “identitas negara mereka”.
Untuk mengingatkan pertanyaan “apakah Israel harus menjadi “negara bercorakkan yahudi” atau “negara orang yahudi”? Artinya perbedaan antara dua aliran “sekuler” dan “agamis” dalam gerakan zionisme sebelum Israel didirikan. Ini adalah pertanyaan pokok sejak “deklarasi janji Balfour” tahun 1917 dan belum diputuskan hingga sekarang.
Corak agama bagi negara seharusnya menjadi ungkapan dari proyek nasionalisme yahudi. Masalah ini tidak pernah terselesaikan dalam sejarah gerakan zionisme. Penganut ideology zionisme baik yang sekuler atau agamis membawa gaung pertanyaan dan jawaban yang beragam hingga sekarang.
Karenanya public Israel tidak begitu peduli dengan usulan PM mereka soal syarat masuk ke meja perundingan. Karena sebagian mereka sudah yakin ia menjadi consensus dalam prinsip dasar perundingan bagi Israel. Kondisi saat ini public Israel cenderung kepada kanan ekstrim baik nasionalis atau agamis. Partai Buruh dan Partai Marites misalnya menilai tidak perlu mempedulikan manfaat pengakuan Palestina atau Arab terhadap “yahudisme negara”. Kelompok yahudi ini menilai bahwa jika Palestina atau Arab menolak mengakui yahudisme Israel hal itu dianggal menolak realitas.
Dalam pandangan Arab disamping menganggap bahaya besar jika Palestina menuruti tuntutan Netanyahu di atas baik terhadap hak-hak nasional Palestina terutama hak kembalinya pengungsi dimana pengungsi Palestina tidak bisa kembali ke tanah air mereka atau warga Palestina di wilayah jajahan 1948 akan semakin merasakan rasisme dan peminggiran jika Israel diakui sebagai negara yahudi.
Tidak penting mengomentari propaganda Arab dan Iran yang menolak yahudi sebagai etnis dan agama atau anti semit di Eropa sebab propaganda ini lebih menunjukkan krisis kehilangan persepsi mereka terhadap dunia daripada menyelesaikan masalah kekinian. Yang terpenting di sini adalah menjadikan tuntutan Israel sebagai pemicu tuntutan yang sama di dunia Arab.
Di era bangkitnya sensitfitas aliran di kebanyakan negara Arab tanpaknya merespon tuntutan mengakui yahudisme Israel agaknya sama dengan ikut menjerat leher orang yang bunuh diri. Jika Arab dituntut menjaga hak-hak nasional Palestina maka mereka juga dituntut untuk melihat bahaya apa di depan mereka. Apa yang terjadi di Irak Sudan Libanon dan Yaman dan isyarat di sebagian negara Teluk seperti Kuwait Bahrain misalnya) mau merespon tuntutan Netanyahu. Lantas bagaimana menyelamatkan sebelum jatuh ke lembah? (bn-bsyr)