Abdul Bari Athwan
Sebaiknya Liga Arab dan Sekjennya serta dewan di bawahnya duduk sejenak membahas masalah mendesak yang mereka hadapi terutama masalah Palestina untuk menghormati logika Arab. Sebab selama ini mereka hanya mengeluarkan pernyataan dan statemen yang memuakkan.
Kemarin setelah menggelar sidang darurat Liga Arab membahas keputusan Israel mengusir 7000 warga Palestina yang dianggap menyerobot Tepi Barat dari Jalur Gaza dan Jordania para pejabat Liga Arab itu mengeluarkan keputusan yang dibaca oleh Sekjennya meminta kepada warga Palestina yang terancam diusir itu untuk “tidak mendengarkan” perintah Israel ini. Karena keputusan Israel itu dianggap rasis dan menyalahi tanggungjawab sesuai dengan undang-undang internasional.
Kenapa memuakkan?
1. Masalah yang begitu krusial dan berbahay seharusnya tidak perlu dibahas oleh delegasi masing dari negara Arab. Ini sama artinya meremehkan dimensi politik hukum dan kemanusiaan. Seharusnya pertemuan darurat itu dilakukan oleh pejabat setingkat menteri-menteri luar negeri Arab. Namun agaknya Menlu-menlu Arab lebih sibuk dengan urusan yang dianggap lebih penting yakni memberikan sanksi kepada Iran karena ambisi nuklirnya.
2. Bagaimana mungkin dewan Liga Arab meminta agar warga Palestina menghadang perintah pengusiran Israel sementara mereka tidak memiliki sejata pesawat roket yang seharusnya diberikan oleh negara-negara Arab melalui perbatasan atau jalur udara?
3. Jika Liga Arab menanggap keputusan Israel sebagai rasisme yang mengusir paksa warga Palestina dan melanggar perjanjian dengan PLO termasuk Oslo. Tapi kenapa Liga Arab tidak membalas pelanggaran Israel itu dengan menarik Prakarsa Damai Arab? Padahal prakarsa itu hanya mendorong Israel semakin gila dalam menyita tanah Palestina membangun permukiman yahudi dan yahudisasi Al-Quds. Kemudian sekarang disusul mengusir warga Palestina dari Tepi Barat tanah air mereka sendiri.
Kami akui kami sudah sudah bosan membicarakan kondisi kelemahan rezim pemerintah Arab. Kita sudah lihat sendiri di KTT Sirte dan keputusan kurus mereka yang membuat kita semakin yakin bahwa tidak ada gunanya lagi mengajak bicara mereka untuk menerapkan ini atau itu. Karenanya kami hanya bisa meminta hentikan pertemuan-pertemuan darurat atau pertemuan biasa. Sebab mereka sudah terbukti tidka mampu dan tidak mau dalam melakukan sesuatu untuk kepentingan umat.
Warga Palestina yang berjihad dan berjaga di tanah air mereka menghadapi ancaman yahudisasi dan penggusuran tanah dan rumah tidak membutuhkan ‘nasihat’ tuan Amr Mosa dan dewan liganya untuk tidak mendengarkan keputusan Israel mengusir mereka.
Jika Liga Arab hanya diam terhadap blockade terhadap 15 juta warga di Jalur Gaza dengan perut kosong mereka diam seperti kuburan saat sinagog yahudi dibangun dekat teras masjid Al-Aqsha dan penggalian yang hampir merobohkan masjid apakah bisa diharapkan Arab bisa menghalangi pengusiran Israel?
Tindakan Israel mengusir warga Palestina bukan hal baru. Tindakan yang sudah digelar sejak menjajah Palestina 60 tahun lalu ini sudah memasuki tahap II yang lebih berbahaya yakni mengusir warga Palestina di wilayah jajahan 1948 di Geliel Mutsallats dan lainnya karena mereka dianggap asing yang tidak memiliki tempat di negara yahudi.
Jika warga Jalur Gaza dianggap Israel tak layak tinggal di Ramallah Nablus Hebron karena dianggap asing kenapa tidak diterapkan hal yang sama kepada 15 warga di Nasherah Taibah Haifa Aka dan Yafa yang dianggap milik yahudi.
Keputusan Israel ini hanya balon ujian untuk mengukur respon Arab terhadap aksi pengusiran yang dilakukan pemerintah kanan ekstrim Israel dalam waktu dekat. Israel memanfaatkan konflik kawasan baru dengan meningkatkan kekerasannya terhadap warga Palestina.
Yang menyedihkan percobaan yang dilakukan Israel berefek lebih cepat dari perkiraan pimpinan Israel. Agaknya Benjamen Netanyahu bergembira sambil tertawa mendengar keterangan hasil siding Liga Arab yang sudah kehilangan rasa murka sedikitpun.
Kami memprediksi pemerintah Israel akan berani melakukan apapun untuk menghina dan melecehkan bangsa Palestina jika kondisi Arab seperti saat ini. Sebab Arab memberikan konsesi begitu berlimpah kepada Amerika dan Israel memberikan prakarsa damai perang anti terorisme yang hanya memihak kepada Amerika menjajah Irak sementara warga Jalur Gaza dianggap sebagai warga asing di Tepi Barat atau sebaliknya. ini berarti negara Palestina di Tepi Barat dan Gaza tidak akan berdiri sama sekali.
Israel setelah menjajah Tepi Barat dan Jalur Gaza pada Juni 1967 mereka memotivasi keluarga di Jalur Gaza untuk pindah ke Tepi Barat dan tinggal di sana untuk mengurangi kepadatan penduduk di Jalur Gaza dan memperbaiki kondisi. Kini Israel ingin mengurani kepadatan penduduk dan masuk dalam perang demografi dengan senjata pengusiran persis seperti yang mereka lakukan setelah menjajah Palestina setelah tahun 1948 dengan mengusir warga 400 desa.
Ketika saya (penulis) bertemu dengan raja Jordania Raja Abdullah II awal 2002 setelah ia pulang dari Washington atau tiga bulan setelah Irak dijajah ia mengatakan bahwa dirinya menyampaikan kepada presiden Amerika Bush tentang kekhawatirannya Sharon akan berani mengusir warga Tepi Barat ke Jordania. Dengan memanfaatkan perang di Irak. Sang raja kemudian meminta jaminan kepada Bush agar tidak terjadi itu. Raja Abdullah mengaku mendapatkan jaminan itu. Ia mengatakan “Jika Israel berani mengusir warga Tepi Barat ke Jordania akan saya umumkan perang. Ini langkah yang tidak boleh dianggap remeh.”
Kita tidak tahu apa respon pemerintah Jordania terhadap keputusan Israel ini. Sebab kebanyakan warga Palestina yang terusir sudah pasti berada nantinya di Jordania seperti yang saudara mereka yang terusir di perang tahun 48 atau perang 67. Namun agaknya kementerian luar negeri Jordania hanya meminta penjelasan kepada kementerian luar negeri Israel yang dianggap melakukan tindakan tidak menyenangkan. (bn-bsyr)