Fahmi Huwaidi
(Asy-Syarq Qatar)
Jika benar indikasi media massa benar maka kawasan Timur Tengah secara pelan-pelan akan masuk ke fase-fase yang dibuat Israel.
(1)
Situasi panas yang memungkinan pecahnya perang di kawasan Timur Tengah hanya spontanitas. Hawa peperangan di Timur Tengah akan meletus tidak sampai di akhir tahun ini. Perkiraan ini didasarkan kepada sikap Amerika secara khusus. Sebab ada kesepakatan antara para pakar bahwa perang apapun yang digelar Israel di kawasan jika tidak iikuti oleh Amerika maka perang itu tidak akan terjadi. Artinya Washington akan menjadi salah satu pihak dalam perang itu. Baik karena ia menjadi sekutu strategis Israel atau karena kepentingannya strategisnya di kawasan Timteng.
Prediksi di atas berdasarkan factor-faktor berikut prioritas krisis ekonomi internal dalam agenda presiden Obama dan proyek-proyeknya yang ingin digolkan di Kongres adalah penyempurnaan penarikan pasukan Amerika dari Irak yang dijadwalkan pada Agustus ini.
Diperkirakan Amerika tidak akan bersemangat dalam operasi militer baru di Timteng selama factor di atas ada. Apalagi kemungkinan respon luas atas tindakan Amerika jika menggelar perang baru akan membahayakannya. Sebab jika jadi Amerika akan menyerang salah satu dari Suriah Libanon atau Iran atau ketiga-ketiganya sekaligus. Iran adalah target utama. Sebab jika Teheran dianggap melampau garis merah jika tetap pada proyek nuklirnya yang dianggap sebagai ancaman riil bagi Israel sebagai kekuatan hegemoni di Timur Tengah. Namun perkiraan Israel serangan militer ke Iran harus ada jaminan poros Suriah dan Libanon Selatan untuk menghindari kemungkinan ada serangan dari sana ke Israel. itu bukan sekedar bahaya Israel semata namun juga kepentingan Amerika juga. Sebab Amerika Amerika memiliki kepentingan terhadap ketiga poros tersebut disamping perlawanan Palestina yang dipimpin Hamas masih menjadi kekuatan “pembelot” menurut Amerika di kawasan Timteng.
(2)
Bukan rahasia lagi bahwa Israel dan kaki tangannya di Amerika berambisi agar negeri paman Sam itu menyerang Irak. Dari sisi prinsip Amerika dan Israel tidak ada perbedaan dalam hal ini. Yang berbeda hanya dalam hal timingnya dan prosedur lainnya. Namun tanpaknya Israel sudah panas yang terlihat dari statemen-statemen belakangan. Sehingga di media-media Israel tema perang menjadi headline news dalam dua pekan terakhir. Harian Asy-Syuruq misalnya memperkirakan perang Israel akan digelar pada 2010 Basyar Asad juga disebut-sebut mendorong kawasan kepada peperangan. Harian Al-Ahram juga melansir bahwa Mesir meminta Israel menghentikan ancaman perangnya terhadap salah satu negara Arab. Ancaman Menhan Israel dan Menlunya justru semakin memperpanas situasi. Pada saat yang sama media memberitakan penggalangan Israel dan manuver militernya di perbatasan Libanon. Media lain memberitakan Hizbullah sudah mengumumkan persiapan perang dan Suriah sudah mengundang pasukan cadangan IV dimana sebagian mereka adalah pekerja di Libanon. Harian New York Times edisi 30 Januari mengeluarkan laporan bahwa AS hendak menyebarkan sistem rudal anti rudal di kawasan teluk untuk mengantisipasi serangan Irak. Sebuah kapal perang juga hendak dilabuhkan Amerika di pantai Iran. Apa yang lansir Times New York ini dikuatkan oleh Menlu Bahrain. Situasi ini dibenarkan oleh Amr Mosa sekjen Liga Arab yang menegaskan di Paris bahwa “Kawasan Timur Tengah kini berada dalam lempengan besi yang panas dan itu belum terjadi sebelumnya”.
Meski hanya perang urat syaraf untuk mengultimatum sebelum perang riil namun yang terpenting adalah semua gejala-gejala di atas dalam rangka merespon strategi Israel. Negara zionis ini tidak melihat adanya alternative lain kecuali proyek nuklir Iran harus digagalkan dan membersihkan kekuatan perlawanan di kawasan. Sehingga yang keras hanya suara Israel dan Amerika.
Di tengah situasi itu terjadi dua perkembangan penting di Amerika. Majalah Times edisi 21 Januari lalu mewancarai Obama dalam rangka 1 tahun pemerintahannya. Presiden Obama mengatakan pihaknya putus asa dengan harapan yang selama ini digantungkan dalam upaya menggulirkan perdamaian di kawasan Timteng. Di awal pemerintahannya Obama menganggap enteng hambatan-hambatan perdamaian Arab dan Israel. ia menegaskan jika dari awal mengetahui tabiat konflik maka dia tidak akan seperti ini.
Peristiwa kedua Presiden Obama berpidato “pidato persatuan” tentang tantangan paling berat dan masalah dalam dan luar negeri. Dia berpidato sebanyak 5700 kata namun tidak ada satu katapun menyebut masalah Palestina. Ini adalah kemenangan politik Israel.
(3)
Setidaknya Obama ingin menyampaikan pesan kepada kita. Bahwa masalah Palestina sudah tidak dianggap penting. Ia hanya kepentingan regional Arab dan bukan urusan dunia internasional. Selain itu Obama tidak mengikat cita-cita Israel di Timur Tengah sebab ia sadar Otoritas Palestina dan negara-negara moderat Arab sangat fleksibel dalam berhubungan dengan Israel.
Ini sangat jelas ketika Benjamen Netanyahu berkunjung ke Amerika dan mampu menghentikan Obama pada batas yang diinginkannya tanpa memberikan syarat apapun. Baik itu proyek Israel dalam ekspansi permukiman atau yahudisasi di Al-Quds. Netanyahu juga mampu meyakinkan semua pihak termasuk Arab bahwa Iran adalah problem yang berbahaya.
(4)
Israel merasa tenang dengan kondisi ketidakberdayaan Arab saat ini sehingga dengan mudah mewujudkan ambisinya. Abu Mazen tidak memiliki alternative lain setelah dirinya berbangga akan menghabisi perlawanan di Tepi Barat sesuai dengan pasal-pasal Peta Jalan.
Jadi jika tidak ada alternative lain maka perundingan ke depan sudah bisa ditebak hasilnya. Dimana Palestina akan dipaksa memberikan konsesi-konsesi yang diinginkan Israel. Apalagi Palestina tidak memiliki daya tekan demikian halnya dengan negara-negara Arab.
Sekenario masuk kepada fase-fase yang diinginkan Israel bukan dijamin 100 persen terjadi namun kemungkinan besar terjadi. Ada tiga faktor yang menghalangi terwujudnya cita-cita dan ambisi Israel. pertama reaksi Iran atas operasi militer Israel harus mampu menciptakan situasi “kebakaran” yang sulit dikendalikan baik di perbatasannya atau reaksi dan ekses setelah perang. Kedua perimbangan kekuatan di latar Palestina harus berubah baik dengan meletusnya Intifadhah III di dalam negeri Palestina atau Intifadhah politik di luar Palestina yang selama ini diam tidak mendukung Fatah atau Hamas. Ketiga kondisi kelemahan Arab yang selama ini diterima dengan terpaksa. Faktor kumpulan harapan dengan impian. Namuan Allah Maha Kuasa atas segalanya. Apalagi bila sekelompok orang yang berhak menorehkan kemenangan dan berhak ditolong. (bn-bsyr)