Salamah Ma’ruf
Jika memperhatikan pidato dan pernyataan resmi PM Ismail Haniyah Rabu pekan lalu dengan perwakilan media asing di Jalur Gaza di sela-sela “Hari Solidaritas Dunia untuk Palestina” maka tak perlu banyak analisis. Kata-kata dan statemennya jelas penuh akuntabel yang diringkas dalam delapan tema penting yang menyentuh realitas Palestina dimulai dari eskalasi kekerasan dan kejahatan Israel yang sudah mulai mengkristal hingga diakhir dengan dokumen Wikileaks yang mengungkap konspirasi atas Palestina. Menyinggung masalah program politik pemerintahnya blokade atas Jalur Gaza perundingan dan beberapa tema lain.
Namun pidato itu tetap harus ditelaah secara obyektif terkait di tengah menggelindingnya peristiwa di latar Palestina yang begitu cepat. Terutama soal rekonsiliasi eskalasi kejahatan Israel dan perundingan. Sehingga sejumlah kolumnis Arab dan barat ikut memperhatian masalah ini.
Masalah penting yang menarik perhatian di Jalur Gaza adalah eskalasi kekerasan Israel yang terang-terangan menegaskan kepada dunia semua bahwa ancaman hakiki di kawasan bukanlah bangsa Palestina namun Israel lah yang menghunus senjata sebagai ancaman. Pemerintah dan di belakangnya Hamas komitmen menjauhkan Gaza dari kebodohan Israel yang baru (agresi). Pemerintah dan Hamas menampik adanya pangkalan militer di Jalur Gaza juga menampik klaim Israel Hamas memiliki roket anti pesawat atau roket jarak jauh atau senjata fosfor. Pemerintah Palestina di Jalur Gaza kembali menegaskan bahwa perlawanan terhadap Israel hanya bekerja di dalam Palestina saja dan Israel hanya ingin menyesatkan opini dunia dan meraup dukungan Amerika.
Soal rekonsiliasi Haniya menegaskan bahwa masalah ini dan aspirasi politik adalah pilihan strategi berangkat dari prinsip keragaman (pluralitas) politik. Ia menegaskan bahwa pemerintahannya masuk dalam perang politik ekonomi militer. Ia menegaskan bahwa keberhasilan rekonsiliasi dengan keterlibatan politik dan keamanan tidak boleh mengorbankan hak bangsa Palestina. Ia menyambut baik semua upaya pihak Arab dan dunia internasional dalam rekonsiliasi. Hamas sendiri siap penuh dalam memberikan konsensi.
Blokade dan Masyarakat Internasional
Dalam pembicaraannya Haniyah tidak menyembunyikan kekecewaannya atas kegagalan masyarakat dunia dalam memberikan sanksi kepada Israel atas kejahatannya. Ia mengingatkan laporan Goldstone yang mengkriminalkan Israel dan menudingnya menggelar kejahatan atas kemanusiaan dalam agresinya di Jalur Gaza. Meski dunia internasional mendukung laporan ini namun hingga kini masyarakat internasional gagal mengubah laporan itu menjadi langkah nyata.
Soal “dusta” Israel dalam “mengurangi blokade” Haniyah menegaskan blokade Gaza masih terus berlanjut sejak bertahun-tahun dari sisi politik ekonomi dan keuangan sebagai sanksi massal dan alternatif dari penjajahan langsung. Tidak sampai di situ bahkan Israel berusaha menghalangi semua pihak yang ingin menembus blokade baik melalui darat atau laut. Akibat tekanan sejumlah pihak Israel mengumumkan akan meringankan blokade namun itu hanya berbohong. Sebab secara subtansi tidak ada perubahan di lapangan. Rumah-rumah penduduk masjid sekolah rumah sakit gereja yang dihancurkan Israel masih belum ada renovasi karena Israel melarang masuknya bahan bangunan. Gaza belum bisa mengimpor mengeskport juga tidak bisa memanfaatkan lautnya. Ratusan barang kebutuhan pokok masih dilarang masuk Jalur Gaza dan angka pengangguran masih tinggi.
Soal perundingan damai Haniya menegaskan bahwa Israel tidak serius dalam perdamaian. Sebab Israel menolak menghentikan pembangunan pemukiman selama 60 hari. Bahkan Israel menegaskan Al-Quds (Jerusalem) adalah ibukota satu-satunya Israel. Israel juga terus melanjutkan pembangunan tembok dan menolak mengakui hak-hak jutaan anak bangsa Palestina yang mereka usir merampas tanah mereka dan memberikan kepada Palestina sebuah entitas negara yang tidak memiliki ciri-ciri negara.
Haniyah menegaskan bahwa Israel ingin keamanan tanah dan perdamaian pada saat yang sama. Ini tentu tidak mungkin bahkan semakin menambah rumit. Apalagi dunia internasional tidak memiliki kemauan mengikat Israel dengan perjanjian dan kesepakatan yang pernah ditandatanganinya.
Haniyah menambahkan “Israel ingin kami menyerah padahal kami tidak akan menyerah. Karenanya kami tidak yakin perundingan ini akan berhasil jika dibangun atas dasar itu.”
Program Politik
Kepada pihak regional dan internasional Haniyah menyampaikan pesan bahwa program pemerintahannya adalah “pemerintah kesatuan nasional” yakni program kesepahaman konsensus nasional yang tertera dalam “piagam tawanan” yang sudah disepakati dengan pihak-pihak di Palestina yang mencakup 18 butir dalam mengatasi semua urusan Palestina. tujuan politik dalam tahap saat ini pemerintahannya tidak menolak berdirinya negara Palestina di perbatasan jajahan tahun 1967 dengan ibukota Al-Quds dengan menyelesaikan masalah pengungsi dan membebaskan semua tawanan.
Jika Hamas sampai ke pucuk pemerintah dengan pemilu yang jurdil maka Pemilu pun di mata PM Palestina ini adalah jalan satu-satunya untuk suksesi kepemimpinan dan membangun kembali PLO. Piagama nasional Palestina juga memberikan wewenang kepada Abbas untuk mengawasi perundingan dengan Israel dengan meminta atau menggelar referendum di dalam negeri dan luar negeri Palestina.
Inilah pidato yang sangat jelas dan tranparan. Jika diamati maka Hamas menegaskan bahwa prinsip-prinsipnya tidak mungkin ditawar-tawar. Sebab jika ditawar sudah pasti akan merugikan hak Palestina. (bn-bsyr)