Mazin Hammad
Neftali Bennet (45) Menteri Ekonomi Israel yang juga ketua Partai Yisrael Beiteinu disebut sebagai politikus paling berhasil di era modern. Ia anak keluarga Yahudi yang imigran ke Palestina dari Amerika dan termasuk pendukung gagasan pencaplokan wilayah Tepi Barat ke Israel. Bennet disebut sebagai sosok yang berdiri di antara dua mdzhab soal Israel harus meminta maaf atau tidak dalam hal pembantaiannya terhadap bangsa Palestina. Namun itu masih menjadi kontroversi sebab Bennet pada saat yang sama menyatakan “saya bangga dan cinta Israel”.
Gideon Levy adalah salah satu kolumnis Israel yang berseberangan dengan Bennet yang dinilai elit politik Israel yang super ekstrim. Namun baginya mencintai Israel tak berarti harus tidak minta maaf kepada bangsa Palestina. Gideon Levy meminta maaf bangga akan hal itu dan menyesalkan Israel yang tidak memiliki inisiatif meminta maaf kepada Palestina dan menyebut Israel sudah kehilangan nurani dan moral yang hidup di dunia penjajahan dunia rasis dan penindasan. Gideon Levy menyebut bahwa sel nurani Israel sudah mati atau dibius. Padahal baginya meminta maaf bukan aib kekuatan bukan kelemahan langkah menuju realita dan rekonsiliasi dengan Palestina.
Bahkan Gideon Levy menyampaikan dalam kampanye politik di pemukiman Yahudi bahwa Israel tidak meminta maaf atas penjajahan ekploitasi bumi Palestina pencurian tanah setiap hari. Serian jujur Gideon Levy terhadap warga Israel tentu tak mendapatkan respon positif.
Gideon Levy menyampaikan gagasan ini juga di koran Haaretz bahwa bangsa Israel tidak pernah meminta maaf walau sekali saja karena penjajahan mereka sehingga jargon Bennet “hentikan meminta maaf dan jadilah orang yang bangga kepada Israel” akan mendapatkan banyak pendukung.
“Saya ingin meminta maaf atas perang 1948 perang 1967 dan semua yang terjadi setelahnya sepanjang masa. Saya ingin meminta maaf atas perang yang menjadikan Israel sebagai negara yang paling jauh dari keadilan dan paling diktaror.” Tegas Levy.
Levy yang mendapatkan pesan ancaman pembunuhan dari kelompok kanan ekstrim Israel bahkan meminta maaf atas pengusiran paksa terhadap Palestina dan melarang kembali meminta maaf atas pembersihan etnis dan pembantaian yang terhitung terhadap bangsa Palestina yang terisolasi.
Pada saat artikel Levy dimuat Haaretz tekanan Amerika begitu besar hingga DK PBB menolak memberikan negara kepada Palestina seperti yang dijanjikan. Ini karena Israel menganggap perang 1948 belum berakhir. Semangat superioritas Israel masih membara hingga kini dengan diwujudkan dengan tindakan rasisme.
Bagi Levy Arab juga harus meminta maaf kepada Israel karena pernah melakukan pembantaian terhadap Yahudi. Meski begitu ia mengakui bahwa meminta maaf itu tidak mengubah apapun hanya menguatkan sisi moral dan kepercayaan diri yang dikecam Israel dengan keras. Ia juga yakin suatu ketika Israel akan meminta maaf atas kejahatannya sebagaimana bangsa kulit putih yang meminta maaf kepada bangsa kulit hitam di Afrika selatan karena melakukan tindakan rasis selama kurun waktu yang lama. (at/Al-Wathan Qatar/infopalestina.com)