Patric Cell
(Ittihad Emirat)
Agaknya presiden Obama mengoleksi banyak kesalahan politik luar negeri. Sayangnya itu justru menghancurkan nama baiknya sendiri setelah ia memegang tampuk kepresidenan pada Januari 2009. Langkah terakhir yang ditempuh terkait dengan aktivitas nuklir Iran dan politik dalam negeri Teheran diplomasi Turki di kawasan regional konflik Israel – Palestina perang di Afganistan mengisyaratkan bahwa Obama lebih memenuhi tekanan dari sejumlah kelompok yang memiliki kepentingan khusus padahal itu bertentangan dengan keyakinan pribadi Obama.
Barangkali langkah paling berhaya yang diambil Obama adalah politiknya terhadap Iran. Alih-alih dia menyambut tawaran pertukaran bahan bakar nuklir yang diajukan oleh Teheran Turki Brazil pada 17 Mei lalu justru Washington menilai tawaran itu menyia-nyiakan waktu. Amerika justru memilih berusaha mendorong DK PBB menerapkan sanksi baru kepada Teheran. Padahal jika Amerika mau menerima tawaran kesepakatan itu maka itu bisa meyakinkan Iran untuk berunding. Karenanya sikap Amerika ini justru ditanggapi Iran dengan balik menantang. Situasinya justru semakin merunyamkan kebencian antar dua negara yang sudah berlangsung selama tiga decade.
Lebih buruk lagi Obama dan Menlu Hillary Clinton melakukan intervensi secara langsung terhadap politik luar negeri Iran dengan meminta melakukan pemilu presiden ulang di Iran.
Pecan lalu Obama menghasung kepada masyarakat dunia untuk mendukung bangsa Iran dalam memperoleh kebebasan. Sementara Clinton menudukung rezim Iran melakukan tindakan represif terhadap rakyat dan melakukan manipulasi pemilu mengekspor terorisme dan berusaha mengembangkan senjata nuklir. Tindakan Amerika ini justru menjadi tindakan politis yang berbaya.
Bagi Iran sikap Amerika hanya bermakna satu seperti yang terjadi di Irak tahun 2003 kini Israel dan pendukungnya di dalam Amerika mendorong Washington mengambil langkah militer terhadap Teheran.
Harian Times Londong yang dikenal akurat kini mulai melansir informasi menyesatkan soal Timur Tengah. Pada edisi 12 Juni ini harian ini mengeluarkan laporan bahwa Saudi sepakat – sesuai dengan kesepakatan dengan Luar Negeri Amerika – memberikan izin kepada Israel menggunakan jalur udaranya untuk menyerang pos-pos nuklir Iran. Laporan busuk ini bertujuan untuk meyakinkan public Arab agar bergabung dengan barisan Israel melawan Iran sehingga situasi sudah siap perang.
Pasca serangan Israel ke Freedom Flotilla pada 31 Mei lalu dimana sembilan relawan Turki dibantai keterangan Turki dengan Washington semakin meningkat. Penyebabnya karena kelompok-kelompok yahudi Amerika menyerang PM Turki Rejeb Taeb Erdogan karena mengkritik tindakan Israel. Kaum neo-konservatif di Amerika meminta agar Turki didepak dari keanggotaan NATO. Media-media Amerika pendukung Israel seperti Wall Stret Jornal dan Wiki Standart juga menyerang Erdogan dan pemerintahannya.
Alih-alih Obama menegur dan mengkritik Israel karena menyerang konvoi bantuan justru Obama menjadi alat Israel menyerang Turki. Padahal Turki adalah anggota NATO dan memiliki pengaruh kuat di kawasan Timteng dari sisi popularitasnya termasuk di Balqan kawasan Kaukaz dan Asia Tengah.
Sebenarnya secara riil Turki mampu menjadi sekutu Washington dan masyarakat internasional bukan saja dalam menyelesaikan krisis Iran namun juga mengeluarkan Washington dari dilema yang menjbloskannya di Afganistan.
Secara de facto pasukan asing satu-satunya yang bisa diterima di Afganistan adalah pasukan Turki yang memiliki saham dalam mebangun sekolah RS dan jalan-jalan di sana. Sayangnya Obama merugi besar karena tidak fair terhadap Turki karena tekanan Israel.
Ini terjadi pada saat situasi Amerika dan sekutunya di Afganistan benar-benar dalam krisis. Jumlah pasukan NATO yang terbunuh dalam sepekan lalu tidak kuran dari 27 pasukan. Rencana penambahan pasukan yang diadopsi Jenderal Stanley McChrystal justru mengasilkan kerugian telak. Ia terpaksa menunda rencananya yang akan bertujuan menyerang benteng Taliban di Kandahar selama beberapa bulan.
Alih-alih merespon permintaan presiden Afganistan Hamid Karzai untuk mengumumkan gencatan senjata dan menggelar perundingan langsung dengan Taliban justru Obama lebih memilih pendapat orang akan pentingnya mengalahkan Taliban secara militer terlebih dulu sebelum berunding dengannya. Ini kesalahan yang harus dibayar oleh Amerika dengan harga mahal.
Obama juga masih terus menyerukan soal penyelesaian konflik Israel – Palestina dengan mendirikan dua negara merdeka tanpa melakukan langkah serius dan tegas demi tujuan itu. Obama juga masih terus mengutus George Mitchael untuk meraih tujuannya namun tanpa dukungan memadai dari presiden Amerika.
Di sisi Palestina tidak harapan perdamaian sebelum Amerika memulai perundingan dengan Hamas dan melepaskan beban politiknya terhadap pembentukan pemerintah persatuan nasinal Palestina yang mampu berunding soal perdamaian final.
Di pihak Israel tidak ada perdamaian selama Obama tidak memiliki keberanian dalam berbicara tegas dengan kelompok ekstrim kanan di pemerintah PM Benjamen Netanyahu. Selama Israel berada dalam kekuasaan kelompok ekstrim ini maka tidak akan ada hawa perdamaian di atmosfernya. Selamanya kelompok ekstrim kanan Israel akan melumuri wajah Amerika dengan cat hitam di dunia Arab dan Islam. Pada saat yang sama harapan umat Islam dan bangsa Arab terhadap Amerika akan terberangus oleh kelompok kanan ekstrim Israel ini. (bn-bsyr)