Sat 10-May-2025

Kekayaan Peradaban dan Investasi untuk Membebaskan Al-Quds

Jumat 8-Oktober-2010

Prof. Dr. Sulaiman Shalih

(Asy-Syarq Qatar)

Umat Islam pernah meraih kemenangan-kemenangan besar dalam menghadapi kekuatan militer besar. Padahal mereka hanya memiliki kekuatan materi pas-pasan sekali dibanding lawan. Tidak pernah dalam pertempuran sekalipun umat Islam lebih kuat senjata dan jumlahnya. Namun pada saat mereka terbuai dengan jumlah maka hampir saja kekalahan itu menimpa mereka.

Tafsir satu-satunya kemenangan militer yang diwujudkan oleh umat Islam di abad 1 hijriyah adalah karena mereka mampu menginvestasikan dan memanfaatkan kekayaan peradaban dan budaya serta ilmu pengetahuan mereka. Islam adalah peradaban yang tidak mampu ditandingi oleh peradaban lain. Islam pasti akan menang. Kemenangan itu lebih dulu dalam sisi peradaban sebelum kemenangan militer.

Karenanya sangat berbahaya bila para dai Islam terutama di era modern ini justru menfokuskan kepahlawanan militer personal kepada pimpinan dan pasukan kaum muslimin. Mereka tidak sadar bahwa seorang tentara Muslim bukan saja berperang dengan lengan dan senjatanya. Namun Israel berperang dengan intelektualnya ruhnya pribadi dan jatidiri peradabannya yang unik dan cemerlang dan dengan iman akhlak dan cita-citanya.

Jika peradaban Islam itu mewujud dalam diri seorang Muslim maka ia lebih kuat dari satu pasukan mampu menggentarkan dan menciutkan hati orang kafir pedang di tangannya lebih kuat dari senjata di gudang senjata negara-negara Arab yang selama ini hanya disimpan hingga berkarat atau hanya digunakan untuk memerangi bangsanya sendiri.

Inilah rahasianya kenapa Umar bin Khattab memecat Khalid bin Walid sebagai komandan perang dan menggantinya dengan seorang alim Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Padahal Khalid adalah komandan pasukan paling agung dalam kepemimpinan militer sepanjang sejarah manusia. Ia sosok jenius yang tahu bagaimana merancang strategi menyerang dan menarik pasukan membagi tugas di antara pasukannya menyerang secara tiba-tiba dan seterusnya.

Apakah Umar tidak tahu hal itu dan meremehkan kapasitas sang tokoh? Keputusan Umar sesungguhnya bertujuan mengembalikan kaum muslimin diri dan jati diri mereka kepada persepsi yang benar. Dan bahwa mereka bisa menang dengan atau tanpa Khalid. Sebab pertempuran bukan sekedar kalkulasi militer semata. Pertempuran juga ada pertempuran peradaban yang panjang. Sementara Khalid akan menemui ajalnya suatu hari. Dengan segala ketangkasan kejeniusan dan kecerdikan militernya Khalid adalah komandan yang diproduksi oleh peradaban Islam itu. Dan peradaban Islam mampu mencetak ribuan orang semisal Khalid dan bahkan lebih mumpuni sekalipun.

Agar umat Islam tidak terpedaya dan meyakini bahwa pertempuran hanya militer semata Umar akhirnya memilih seorang komandan yang merepresentasikan perabadan Islam meski tidak (baca belum) memiliki kemampuan militer sekelas Khalid.

Umar memilih sosok kepercayaan umat untuk memimpin pertempuran sebab ia adalah pimpinan peradaban yang merepresentasikan proyek peradaban Islam dunia.

Khalid sudah menyelesaikan tugasnya dan mematahkan pasukan militer romawi. Namun Pertempuran militer tinggal satu babak dan Khalid meminta izin kepada Abu Ubaidah karena itu berada di dalam kapasitasnya. Abu Ubaidah pun mengizinkannya. Setelah pertempuran militer ‘terakhir’ berakhir dengan kemenanga Khalid menyerahkan kendali kepemimpinannya kepada Abu Ubaidah. Khalid rela menjadi pasukan biasa sebab Abu Ubaidah yang harus mengatur konflik secara peradaban dan budaya dan kemenangan terakhir harus atas nama “komandan peradaban”. Ini berakhir yang menang adalah Islam.

Di sini tersimpan rahasia lain keputusan Umar menunjuk Abu Ubaidah dimana pasukan Islam sedang mengarah ke “pembebasan Al-Quds” sebuah kota suci yang memiliki urgensi peradaban. Di ‘sekitar’ kota itu akan berlangsung konflik panjang lintas generasi antara Islam dan kekufuran. Konflik yang ini mengharuskan investasi semua kekuatan peradaban umat.

Pembebasan Al-Quds harus dipimpin oleh komandan peradaban Islam yang mencakup nilai akhlak ilmu akidah politik makrifah dan semua kekayaan ini harus diinvestasikan dalam memenej pertempuran.

Bukan berarti Khalid tidak merepresentasikan Islam sebagai peradaban atau ia hanya komandan militer. Tidak Khalid adalah generasi legal dari peradaban Islam dan ia mampu merepresentasikannya. Namun namanya sudah melekat kepada pedang peperangan menyerang mundur perencanaan strategi dan mengatur peperangan militer.

Situasi sekarang (saat itu) berbeda. Pasukan hampir membebaskan Al-Quds sehingga pemimpin harus merepresentasikan Islam yang utuh. Proyek perdaban dengan prinsip-prinsipnya dan moralnya sehingga membutuhkan komandan yang alim (ulama) faqih zuhud Abu Ubaidah. Sehingga pertempuran ini tetap pada tabiat khususnya yang membebaskan dengan pertempuran-pertempuran sepanjang sejarah. Pertempuran antara kebenaran melawan kebatilan keadilan melawan kezhaliman Islam melawan kekufuran pengetahuan (makrifah) melawan kejahiliaan. Betapapun kekuatan musuh Islam akan mampu membebaskan Al-Quds. Karenanya kemenangan akhir yang pasti harus dicapai oleh dunia yang merepresentasikan Islam secara akidah peradaban kebudayaan sejarah dan ilmu pengetahuan.

Karenanya Abu Ubaidah kemudia memenej pertempuran dengan visi global menghormati hak-hak Kristen Palestina dan berdiri di gerbang Al-Quds menunggu Umar menyerahkan kunci-kunci dan mengikat perjanjian “Umariyah” atas nama Islam dan menjaga kaum Kristen tempat suci dan hak-hak mereka.

Kemudian tentara Islam semuanya berdiri dengan simbol-simbol politik militer dan peradaban. Mereka makan roti kering dan mereka celupkan ke selai garam sambil menangis sebab proyek peradaban telah mewujudkan kemenangan. Yang menang Islam. Adapun Umar Abu Ubaidah dan Khalid memiliki kehormatan dan saham dalam memenej pertempuran.

Kenapa tidak terjadi polemik di kalangan pasukan Islam kala itu soal rahasia keputusan Umar? Sudah pasti karena mereka memahami dan menyadari itu. Mereka terikat kepada Islam dan bukan kepada sosok atau person. Betapapun pentingnya sosok nilai mereka tetap diukur pada konsistensi mereka terhadap Islam sebagai pasukan dan dainya. Mereka mewujudkan kemenangan untuk Islam bukan untuk pribadi mereka. Mereka sibuk dengan masalah lebih besar. Mereka rindu mewujudkan kemenangan agung. Karenanya mereka makan roti kering yang dicelupkan ke selai garam sambil menangis.

Umar ingin memastikan kebenaran keputusannya. Ia pergi ke rumah Abu Ubaidah. Ia tak menemukan perabotan dan alat kesenangan. Ia menyadari bahwa sang komandan yang berjuang demi Islam dan tidak peduli dengan kesenangan dunia dan menjadi pasukan Islam paling miskin.

Sementara kita dilalaikan dari kekayaan peradaban agung kita dan sibuk dengan kesenangan dunia.

Lebih berbahaya lagi justru kita disibukkan dengan konflik antar sahabat. Kita lupa kerja mereka fiqih mereka sejarah mereka kecintaan mereka terhada Islam jihad mereka dalam membangun peradaban Islam yang agung. (bn-bsyr)

Short Url:

Coppied