Fahmi Huwaidi
Asy-syarq Ausath
Tema negara Palestina adalah kebohongan tahun baru ini yang dibahas dalam piagam kesepahaman di konferensi Annapolis. Sebagian pihak menilai janji ini sebagai obat bius yang manjur. Sebelum menyentuh sisi-sisi tema ini penulis mengajak anda untuk memikirkan kembali tema “Negara yang diberikan penjajah kepada rakyat yang dijajahnya dengan rela dan senang hati. Ini kasus belum pernah ada sepanjang sejarah sejauh yang diketahui oleh penulis. Jika memang terjadi itu sebuah tindakan ungkapan dari kebodohan. Sebab Negara yang diimpikan Palestina yang merupakan hak legal bagi mereka berbeda dengan Negara yang akan diberikan oleh Israel.
Negara yang diinginkan Palestina adalah yang berdiri di atas tanah dan wilayah dimana mereka sejak awal sudah ada di sana harus berdaulat. Sementara Negara yang diinginkan oleh Israel adalah negar boneka yang memenuhi kepentingan Israel. Ini adalah ucapan Simon Perez agar Israel tetap menjadi negara Yahudi secara moral dan demografi. Israel butuh negara Palestina di sampingnya. Ini yang diyakini Sharon dan Bush yang dijanjikan di tahun 2002 akan didirikan negara Israel dan Palestina.
Negara Palestina yang diinginkan Israel mencakup beberapa hal: dibebaskan dari dosa-dosa sejarah lembarannya harus bersih secara moral pendirian negara sebagai alasan untuk melepaskan hak kembali Palestina ke kampung halaman mereka dan negara Palestina itu harus menjadi pintu masuk bagi Israel ke dunia Arab.
Adapun karekter negara Palestina seperti yang diinginkan oleh Israel adalah harus didirikan hingga di wilayah jajahan tahun 1967 dengan syarat tidak menghilangkan permukiman yang dihuni ooleh 150 permukiman yang dihuni oleh setengah juta orang. Permukiman ini berada di atas sumber air tanah subur di Tepi Barat. Dimana sangat memungkinkan bagi Israel untuk menguasai 85% air di wilayah itu.
Di samping itu Israel akan memberikan ganti rugi kepada Otoritas Palestina tanah dengan luas yang sama dengan di gurun Naqab sebagai bagian dari pertukaran tanah yang sayang sekali diterima oleh Abu Mazen karena Israel sudah menjajah wilayah Palestina di tahun 1967 seluas 6000 Km2. padahal wilayah yang diberikan Israel itu tidak layak huni sebab sebagai wilayah pembuangan limba nuklir.
Lebih dari itu negara Palestina yang diinginkan Israel hanya sebagai kantong isolasi yang dikelilingin oleh permukiman Yahudi. Negara itu juga tidak memiliki senjata dan tidak memiliki kedaulatan di darat laut dan udara. Antinya semua pintu gerbangnya dikuasi oleh Israel.
Sebuah hadiah tipuan. Inilah hadiah yang diberikan penjajah penggasap kepada jajahannya jika dalam kondisi normal. Apalagi jika jajahannya dalam kondisi terpecah seperti kondisi Palestina. Lantas apa sikap yang harus dilakukan? Penulis menilai bahwa tidak ada jalan seirus untuk menyelamat kondisi ini selama barisan Palestina terpecah seperti sekarang. Semua tindakan sebelum hanya perangkap Israel.
Sayangnya ada batu loncatan di atas tabiat negara yang diajukan. Sebab setan selalu ada di bagian-bagian detail seperti kata pepatah dimana Abu Mazen mengungkapkan harapannya negara Palestina berdiri di akhir tahun 2008. seperti dalam piagam kesepahaman Annapolis. Namun tetap bersifat lentur tanpa komitmen dan tidak mengingat.
Penulis juga heran kenapa Abu Mazen yakin pahadal pengalaman rakyat Palestina selama ini bahwa bagi Israel “tanggal tidaklah kultus“. Terbukti Yishak Rabbin menyelisihi janjinya menarik diri dari kota-kota Tepi Barat di tahun 1995. kemudian penggantinya Perez mengikari adanya kesepakatan soal penarikan ini. Dan masih banyak pengalaman berharga dari sikap-sikap Israel yang tidak pernah konsisten dengan janjinya.
Lebih penting dari itu pihak Israel tidak menepati janjinya Mei 1999 yang seharusnya menjadi akhir fase transisi yang ditetapkan oleh kesepaktan Oslo I pada September 1993 dan Oslo II September 1995 yang menjanjikan deklarasi negara Palestina. (bn-bsyr)