Bilal Hasan
Asy-Syarq Ausath
KTT Arab kembali segera digelar di Damaskus Suriah. Hajat tiga tahunan ini dihelat di tengah perbedaan dan perpecahan mencolok. Tugas utama KTT ini tentu menemukan solusi perselisihan itu. Paling tidak menyetujui watak perbedaan dan menyusun rencana bersama. KTT Arab pertama tahun 1964 membahas ancaman pengalihan kekuasaan air sungai Jordania oleh Israel. Pada saat itu dibentuk Pimpinan Arab Bersatu diketuai oleh Al-Mushir Ali Ali Amer untuk mengalihkan kembali aliran sungai Jordania. KTT Khortum 1967 membahas kekalahan perang Juni dan merencanakan pendanaan untuk rehabilitasi pasukan Mesir dan Suriah sehingga bisa merebut wilayah yang sudah dijajah Israel. KTT Kairo tahun 1970 berusaha menyelesaikan konflik Palestina – Jordania. KTT Rabat tahun 1974 menyikapi hasil perang Oktober. KTT Kairo 1976 memutuskan rencana Arab menghadai situasi runyam di Libanon.
KTT Arab selalu digelar untuk membahas masalah strategi atau mengatasi masalah krisis. KTT terakhir di Riyadl 2007 menelurkan “piagam Mekah” untuk menghentikan perang saudara di Palestina. Disamping ingin mengembalikan sikap tegas politik Arab yang selama dalam bayang-bayang Amerika terutama dengan menginvasi Irak dalam rangkaian konspirasi besar mengkristalkan proyek “Timur Tengah Baru”. Di KTT ini keluar pernyataan Riyadl yang menegaskan sejumlah hal perdamaian yang adil fair dan utuh sebagai alternatif strategis bagi bangsa Arab.
Apa yang tertera dalam “bayan Riyadl” layak menjadi agedan kerja KTT Damaskus beberapa hari lagi. Dengan syarat evaluasi kali ini benar-benar serius dan esensial. Sebab politik Amerika dan Israel tidak main-main diterapkan di kawasan dan ingin menyeret bangsa Arab ke jurang yang tidak mereka kehendaki. Tak seorang pun bisa masa bodoh dengan situasi yang menyelimuti Arab.
Pasal pertama yang harus menjadi evaluasi politik terkait dengan keputusan Arab 1974 yang mulai diterapkan 1991 yang pernah melalui konferensi Madrid yakni penegasan perdamaian sebagai pilihan strategis bagi bangsa Arab. Jargon ini sudah diuji selama beberapa dekade. Bahkan secara terbatas diuji dalam konteks Palestina selama 17 tahun. Hasilnya apa? Israel selalu menolak perdamaian sebagai alternatif strategis. Sekarang juga Arab harus seris menyikapi masalah ini. Penolakan Israel harus menjadi pelajaran bagi Arab. Bahkan di lapangan penolakan negara zionis itu diterjemahkan dengan menguasai kota Al-Quds menguasai setengah wilayah Tepi Barat ekspansi permukiman Yahudi pembangunan tembok pemisah dengan aktifitas yang sangat intens. Zionis juga menolak upaya Mesir untuk mewujudkan gencatan senjata yang dianggap sandungan perundingannya dengan Otoritas Palestina.
Pasal kedua evaluasi politik dengan serius soal persepsi Arab bersama soal watak bahaya yang dihadapi Timteng. Sebab persepsi mereka selama ini dipermainkan oleh Amerika. Pada saat Arab disibukkan dengan persiapan militer mengadapi Israel Amerika justru mendorong Arab menghadapi Iran. Semua Arab menyadari tak ada maslahat bagi mereka dalam lawan tanding dengan Irak tak ada manfaat memilah-milah Arab dengan garis keras dan garis moderat.
Sebenarnya bayan Riyadl sudah menyinggung masalah ini. Mereka sudah meneken kesepakatan politik dengan membersihkan kawasan Timteng dari senjata pemusnah massal Israel jauh dari standar ganda Amerika dan semua negara berhak memiliki energi nuklir.
Pasal ketiga evaluasi ketiga ini bisa jadi akan menjadi obat manjur bagi krisis Libanon dan Palestina antara Hamas dan Fatah. Jika kedua krisis ini teratasi maka krisis mendatang yang serupa akan teratasi.
Ketiga hal di atas tidak boleh luput dari kunjungan delegasi Amerika semacam Dick Cheney ke Timteng. Apalagi kunjungan ini hanya bertujuan mengadu Arab dengan Iran dan membela mati-matian Israel dan proyeknya. Tidak boleh luput dari perhatian kunjungan penasehat presiden Jerman Anggela Miracle yang tidak mampu melihat – bahkan setelah pembantaian Gaza – kecuali hanya roket perlawanan Palestina ke Israel. Kunjungan-kunjungan itu hanya pembelaan Amerika – Eropa terhadap Israel menghadapi Arab. Seharusnya sikap Arab menolak politik internasional ini dan meletakkan kawasan ini pada rute politik baru.
KTT Riyadl tahun lalu menelurkan jargon-jargon “kembalinya sikap politik Arab di tangan sendiri” setelah dikuasai oleh asing. “Bangsa Arab mampu menyatukan barisannya mengukuhkan kerjasamanya dan mewujudkan keamanan dan kemuliaan”. Inilah agenda penting yang harus dikukuhkan oleh KTT Damaskus saat ini. (bn-bsyr)