Sun 11-May-2025

Israel Manfaatkan Perpecahan Arab untuk Perkuat Sikapnya

Selasa 19-Oktober-2010

Dr. Kalfie Maqsodi

El-Khaleej Emiret

Seharusnya kita konsen terhadap sejumlah masalah yang semakin rumit dalam situasi negara-negara Arab jika ingin mencari solusinya. Sebab jika dibiarkan masalah itu semakin melebar dan akan menghilangkan kemampuan internal bangsa Arab untuk mengatasinya. Lihat misalnya soal kesulitan Irak membangun pemerintah pusat yang bisa mengatasi kerugian perang dan penjajahan dengan solusi yang bisa menjamin persatuan nasional dan memanfaatkan kekayaan ilmiah untuk melakukan proses perubahan mendasar. Di Sudan misalnya tentang kemungkinan terjadinya disintegrasi di wilayah selatan jika tidak ada perimbangan secara damai dengan wilayah utara. Demikian juga perpecahan di Somalia. Ditambah lain masalah gerakan-gerakan disintegrasi di Yaman Selatan dan tidak adanya jaminan keselamatan sipil di Yaman secara keseluruhan. Masalah-masalah seperti ini seharusnya mendesak bagi setiap “komiter Arab” untuk mengatasinya melakukan studi dan sarana untuk memecahkannya. Setiap kali kita berusaha konsen dengan satu masalah dari masalah-masalah di atas selalu dibenturkan dengan “Israel” yang berusaha memalingkan kepedulian nasionalisme Arab dari solusi integral atas masalah ini.

Bukan berarti masalah-masalah menggantung ini jika semakin bertumpukan akan menghilangkan koodinasi antar Arab. Israel selalu berusaha menggagalkan upaya memberikan hak paling minim bagi bangsa Palestina di tanah airnya. Bangsa Arab sadar akan centralistic masalah Palestina. Hampir dipastikan mereka sepakat Palestina sebagai masalah prioritas. Bangsa Arab sadar Israel ingin mencabik-cabik nasionalisme mereka.

Dari sini di saat kita saat ini kehilangan referensi terpercaya terhadap perjuangan bangsa Palestina dalam menentukan nasibnya dan di tengah upaya Israel yang semakin brutal mengisolasi usaha dan energy Arab dalam memenej dan mengendalikan konflik Israel sadar bahwa kondisi ini akan mendukung finalisasi proyek Israel seperti yang terjadi pada pecan lalu. Dimana PM Israel Benjamen Netanyahu memberikan izin pembangunan 250 unit hunian di Jerusalem Timur. Sebab ada kemungkinan kota ini akan dijadikan ibukota Palestina jika jadi berdiri. Ini hanya contoh sekarang. Sebelumnya sangat banyak. Seperti ketika Abbas menyatakan optimis Amerika akan bisa meyakinkan Israel untuk membekukan pemukiman menjelang dimulainya perundingan. Maka pada saat yang sama Jumat 15 Oktober Israel membangun sejumlah unit bangunan sebagai jawaban atas optimisme Abbas.

Sangat menyakitkan. Aktivitas pembangunan pemukiman yahudi tidak dibekukan. Pilihannya dibubarkan atau berkembang. Perjalanan perundingan damai sejak kesepakatan Oslo hingga fase akhir di era Presiden Obama menunjukkan bahwa pembekuan pemukiman diperkenankan kepada Israel hanya untuk memeras dan mencuri waktu serta melecehkan kejujuran Otoritas Palestina soal perdamaian. Pernyataan dubes Israel di Washington Michel Oren pada 14 Oktober lalu mengisyaratkan bahwa inti konflik Palestina – Israel adalah soal penolakan pengakuan terhadap yahudi sebagai bangsa yang sudah mengakar di kawasan Timteng dan sudah saatnya Palestina mengakui bahwa yahudi adalah tetangga tetap dan legal. Artinya pengakuan atas identitas ini adalah jalan menuju “hidup berdampingan”. Kemudian dubes Israel mengatakan bahwa sejak 63 tahun PBB mengakui kemerdekaan bangsa yahudi di negerinya. Setelah negara itu berdiri Palestina mengingkari tabiat dan cap yahudi itu. Pengingkaran terhadap Israel sebagai negara yahudi menyebabkan meletusnya perang pada tahun 1948 menolak legalitas Israel. Namun sekarang tidak mengakui yahudisme Israel dianggap mengancam perdamaian.

Dubes Israel ini mengatakan bahwa pengakuan itu sebagai dasar perdamaian. Bahkan ia mengatakan hak bangsa yahudi membangun negara adalah “inti undang-undang internasional”. Kemudian ia mendasarkannya dengan “deklarasi Balfour” tahun 1917. Sejak kapan undang-undang internasional bertumpu kepada “janji sebuah negara kolonialis”? Kenapa Palestina tidak bisa mengakui Israel sebagai negara yahudi? Jawabannya apa yang disahkan oleh Majlis Umum PBB tentang resolusi “pembagian wilayah Palestina”. Aneh jika dubes Israel melandaskan ucapannya dengan undang-undang internasional sementara pelanggarannya tidak pernah bisa dihitung.

Pembantaian di Der Yasin adalah salah satu stasiun pelanggaran itu. Aneh jika Netanyahu ingin berunding dengan syarat-syaratnya namun ketika tidak ada perundingan ia memberikan izin pembangunan pemukiman. Perlakuan Israel terhadap Otoritas Palestina ini menunjukkan bahwa tidak ada jaminan tanah Palestina yang tersisa yang ditetapkan oleh hukum internasional dan diakui secara paksa oleh prakarsa perdamaian Arab yang hanya 22% dari keseluruhan tanah Palestina yang sah. Karena Arab menganggap wilayah itu central bagi negara Palestina ke depan.

Benar kita mengkritisi diri kita sendiri karena tidak bsia mengatasi semua masalah yang menentukan di negeri Arab pada saat yang bersamaan. Namun bila kita biarkan bangsa Palestina habis secara perlahan-lahan karena sikap Arab dan sikap Otoritas Palestina maka realitas kita tidak akan berubah.

Jika bangsa Arab terus terpecah belah maka Israel akan terus memanfaatkannya sebagai peluang menghabisi hak bangsa Palestina dengan mengatas namakan normalisasi. Bangsa Arab paham dan sadar bahwa Israel sengaja menjauhkan Palestina dari kesadaran mereka dan akal mereka sehingga Israel akan leluasa menyempurnakan proyek rasisnya yang akan mengusir Arab dari “zona hijau” menghapus hak kembali pengungsi Palestina mencaplok Al-Quds sebagai ibukota Israel mempercepat undang-undang “hak kembali yahudi” ke Palestina mengakui negara Israel sebagai negara bangsa yahudi. (bn-bsyr)

Short Url:

Coppied