Tue 6-May-2025

Hakikat Strategi Israel dalam Perundingan dengen Arab

Kamis 24-Januari-2008

Dr. Hasan Nafeah

El-Hayat London

Penulis tak perlu ingatkan pembaca bahwa proses perundingan yang bertujuan perdamaian konflik Arab – Israel sudah dimulai sejak pasca perang Oktober 1973 secara langsung. Ini artinya usianya sudah 35 tahun. Meski bila diasumsikan bahwa proses perundingan itu belum dimulai secara serius kecuali sejak konferensi Madrid 1991 atau sejak negara-negara Arab secara ramai-ramai ikut dalam perundingan maka usianya seriusnya 15 tahun. Sebuah rentang masa yang tidak pendek. Seharusnya sudah terwujud titik terang namun itu tidak terjadi. Lebih penting dari itu kini perasaan gagal dan putus asa mulai menghinggapi kemungkinan tercapainya perdamaian hakiki meski perundingan dilanjutkan selama 1000 tahun. Terutama setelah kunjungan Bush junior ke kawasan Timteng. Dari kunjungan itu tidak ragu lagi bahwa atap perundingan yang diusulkan oleh AS dan Israel jauh dari kemungkinan bisa diterima oleh Palestina atau negara-negara Arab. Jika kesimpulan ini benar maka tidak ada selain satu arti bahwa proses perundingan dibangun di atas prinsip-prinsip rapuh. Sudah ada kesalahan esensial sejak awal. Kenapa terjadi kesalahan ini?

Sudah jelas sekali bahwa kesalahan-kesalahan esensial yang menghinggapi perundingan tersebut? Di level prosedur keputusan Mesir melakukan perundingan langsung dengan Israel menerima kesepakatan perundingan sendirian di bawah payung AS. Menyusul kemudian kesalahan-kesalahan demi kesalahan yang melemahkan perundingan Arab yang kemudian merugikan kepentingan mereka sendiri. Di level esensialnya referensi politik dan pemikiran bagi proses perundingan penuh dengan kerancuan sehingga pihak Arab seakan tersesat jalan.

Jika diperhatikan Mesir kemudian negara-negara Arab masuk dalam proses perundingan tanpa strategi secara mutlak. Berbeda dengan Israel yang menyadari benar apa maunya. Benar memang strategi Israel tunduk kepada prinsip evaluasi dan penilaian ketika terbentur dengan perkembangan dunia dan kawasan sehingga Israel akan mengubah sikapnya. Namun hal itu tidak pernah mengintervensi tujuan strategi inti Israel yang terkonsentrasi pada dua hal pertama mempertahankan seluas mungkin wilayah jajahannya terutama di Tepi Barat dengan tetap mempertahankan strategi menguasai pos-pos strategi dan sumber air utama. Kedua memenej proses perundingan dengan cara membantu melemahkan dan memecah belah negara-negara Arab sejauh mungkin. Pada saat yang sama Israel menaikkan kwalitasnya dalam berbagai sisi. Israel selalu mempersiapkan diri sebelum jauh-jauh melakukan perundingan. Sementara negara Arab direpotkan dengan berbagai konflik antara mereka.

Misalnya pertama setelah kemenangan Israel di perang 1967 Israel mengkonsentrasikan diri memperoleh jaminan-jaminan Amerika untuk mempertahankan wilayah-wilayah baru yang dijajahnya hingga tercapai kesepakatan perundingan dengan memasukknya hal itu sebagai syarat. Hasilnya keluar resolusi PBB non 242 yang sangat beragam tafsirnya dan tidak memiliki perangkat eksekutornya.

Kedua ketika perang Oktober 1973 Israel konsentrasi melakukan koordinasi penuh dengan Henry Kseniger Menlu Amerika di saat itu untuk menjatuhkan kekuatan Arab yang menciptakan kemenangan Oktober (dengan senjata minyak solidaritas Arab dan dukungan Uni Soviet) sebelum perundingan penuh dengan negara-negara Arab.

Ketiga Israel memaksakan syarat-syarat prosedur dan esensial perundingan sebagai berikut:

1. Perundingan harus langsung tanpa penengan kecuali perundingan persiapan yang memungkinkan menerima penengah AS bukan yang lain.

2. Harus merujuk kepada 242 tanpa lainnya dari undang-undang internasional.

3. Tidak boleh memulai perundingan dengan pihak Arab sebelum pilihan perang dan kekerasan dihapus sebagai perundingan menyelesaikan konflik tanpa syarat.

4. Israel tidak mengambil keputusan sulit setelah menolak menarik diri dari gurun Sinai dan kembali ke perbatasan Mesir setelah Anwar Sadat menyatakan bahwa perang Oktober adalah terakhir dengan Israel dan kemudian memutuskan untuk berunding sendirian. Namun Israel tidak siap berjanji bahwa Oktober 1973 sebagai perang terakhir dengan Israel atau berjanji akan menarik diri dari wilayah jajahan 1967. Kenapa begitu? Sederhana sebab dalam tahap ini Israel ingin mengeluarkan Mesir dari perimbangan konflik dengan tanpa senjata.

5. Ketika AS membuka dialog dengan PLO Israel berusaha mengganjalnya. Kecuali jika PLO menerima resolusi 242. dan PLO berhenti melakukan perlawanan bersenjata di Oslo 1993.

6. Israel memiliki peran memecah belah Hamas dan Fatah.

7. Setelah memperoleh persetujuan AS menolak dari wilayahah jajahan 1967 dan menguasai permukiman besar dan memberikan kewarganegaraan kepada pengsungsi Palestina Israel mulai meminta agar Palestina dan Arab mengakuinya sebagai negara untuk bangsa Yahudi atau negara untuk warga Yahudi saja bukan Palestina. Sebuah ancaman untuk warga Palestina di wilayah jajahan tahun 1948.

Banyak daftar bukti bahwa Israel tidak pernah seharipun serius dalam mewujudkan kesepakatan damai bagi konflik di kawasan. Israel hanya ingin memenej konflik dengan negara-negara kawasan Timteng untuk mewujudkan tujuan:

Pertama mempertahankan seluas mungkin wilayah jajahannya terutama di Tepi Barat dengan tetap mempertahankan strategi menguasai pos-pos strategi dan sumber air utama. Kedua memenej proses perundingan dengan cara membantu melemahkan dan memecah belah negara-negara Arab sejauh mungkin. Pada saat yang sama Israel menaikkan kwalitasnya dalam berbagai sisi. Israel selalu mempersiapkan diri sebelum jauh-jauh melakukan perundingan. Sementara negara Arab direpotkan dengan berbagai konflik antara mereka.

Menurut penulis Israel yakin konflik atau perbedaan Arab sangat dalam. Sehingga strategi mereka akan terwujud. Terutama untuk jangkan panjang itu mengubah kawasan Timteng menjadi entitas-entitas kelompok dan rapuh dan Yahudi menjadi di tengah-tengah mereka menjadi penguasa yang hegemonis. (bn-bsyr)

*Kolumnis Mesir

Short Url:

Coppied