Aiman Yagi
(Al-WathanQatar)
“Israel” kehilangan kesadaran dan hidup dalam keguncangan dan kebingunan internal yang belum pernah terjadi. Inilah kenyataan yang dialami oleh Israel yang tidak mengetahui bagaimana mencerna perkembangan dan perubahan internal regional dan internasional.
Kepemimpinan Ehud Olmert yang terbentur karena kegagalan dalam perang Hizbullah di Libanon terakhir belum menentukan pilihan-pilihannya membuka perang terhadap Palestina Suriah dan Libanon atau menentukan arah proses perdamaian. Pemerintah Olmert yang dicitrakan secara buruk serangan di media massa dan politik. Media massa ini masih bermain menentukan arah isu terkadang bicara soal perundingan dan perang. Pimpinan yang sedang bingung ini tidak tahu bagaimana memaneg peperangan dan perundingan damai. Akhirnya Israel terpaksa berbicara dengan dua suara berbentuk dengan dua warna untuk membebaskan diri dari beban berat ini dengan kerugian yang kecil.
Pemerintah Olmert seakan ada dan pada saat yang sama absent. Ia masuk dalam perang dengan Palestina namun tidak berani mengambil keputusan perang besar terhadap Jalur Gaza. Padahal mereka tidak ada penghalang untuk bertemu dengan presiden Palestina Mahmod Abbas untuk membahas tema-tema yang mandek selama ini seperti gencatan senjata embargo dan dana Palestina. Sementara pembantaian dan penangkapan terus berlanjut permukiman yahudisasi pembangunan tembok rasial berjalan terus tanpa ada yang menghadang. Israel memanfaatkan situasi Palestina dan Arab yang tidak berdaya. Situasi regional dan internasional rumit menjadikan Israel mengalami paradok dalam sikapnya di antaranya:
– Menjauhi keseriusan dalam memasuki prakarsa dan usulan Arab atau internasional untuk memulai perundingan perdamaian konflik Palestina – Israel. Israel hanya cukup melakukan pertemuan-pertemuan terbatas dan tidak terkait satu sama salin dengan presiden Palestina untuk membicarakan gencatan senjata pencegahan roket Palestina sejumlah prosedur formal untuk menumbuhkan kepercayaan antar kedua pihak. Israel menghindari pembicaraan tentang prakarsa Arab atau bahkan Amerika. Sehingga prakarsa ini hanya tinggal di dalam lemari es Israel sampai masalah inti soal pengungsi dan penarikan Israel dari perbatasan perang 4 Juni dicabut dan pihak Arab menerima normalisasi dengan Israel terlebih dahulu.
– Melakukan maneuver di wilayah Golan Suriah yang dijajah Israel dalam rangka upaya melibat Suriah dan memaksanya untuk berunding dan menerima solusi damai sesuai syarat yang diinginkan Israel dan di sisi lain pamer kekuatan militer Israel di depan opini public Israel.
– Menghindari kancah Libanon meski tetap melakukan pelanggaran udara setiap hari untuk menuggu hasil perang antara pembelot dan kelompok loyalitas di sana.
Sesungguhnya elit Israel bekerja agar usianya lebih lama dengan membekukan perundingan dengan Palestina dan mengarahkan pukulan dan serangannya secara terbatas ke pimpinan Palestina yang bersenjata. Israel membiarkan jenderal-jenderalnya untuk melakukan spekulasi serangan ke kelompok bersenjata seperti yang pernah terjadi dengan serangan ke Hizbullah meski berakhir dengan kegagalan.
Kini Israel diam dan menutup telinganya dari semua prakarsa serius soal perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan regional sebab Israel memang tidak memiliki kesiapan menerima prakarsa dengan Arab karena itu adalah garis merah yang dimiliki oleh pihak-pihak ekstrim. Sementara itu Israel tidak segan-segan unjuk kebolehan militer terhadap Palestina dan Arab. Sehingga tidak tahu pasti kemana paradoks Israel ini berjalan. (atb)