Tue 6-May-2025

Akankah Hamas Berunding dengan Israel Tahun Depan

Selasa 9-September-2008

Dr. Abdul Athi Muhammad

Al-Wathan Qatar

Setahun setelah peristiwa ‘kudeta’ atau kebijakan militer Hamas di Jalur Gaza pada Juni 2007 dan setahun perundingan Palestina – Israel yang menghasilkan konferensi Annapoliis dengan naungan Amerika namun hanya menemui jalan buntu. Hubungan antar Palestina tidak membaik. Bahkan Otoritas Palestina pimpinan Abbas sampai kepada keyakinan bahwa tidak akan terjadi kemajuan dalam perundingan damai hingga akhir tahun ini dan mereka berharap hal itu. Otoritas Palestina juga menilai upaya Amerika dan Israel yang bertujuan menandatangani piagama apapun atau kesepakatan prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh Otoritas Palestina sebagai upaya pelanggaran. Otoritas Palestina sudah tidak berharap ada sesuatu yang mengikatnya selamanya dalam hal solusi akhir. Berbagai rentetan perundingan Abbas dan Olmert selama berbulan-bulan terakhir menunjukkan bahwa peran Amerika tidak ada gunanya bahkan untuk pemerintahan mendatang AMerika sekalipun.

Selama sepekan lalu ada perkembangan soal persepsi perundingan baik di pihak Palestina atau Israel. Di pihak Palestina ada wacana yang berkembang baik di Fatah atau Hamas agar menfokuskan pada masalah internal atau mekanisme mengembalikan dialog dan menghakhiri segala akibat tindakan kekerasan di Gaza tanpa lagi membuka perundingan damai dengan Israel dan masa depan hubungannya dengan negara zionis itu. Sementara Israel kembali menegaskan bahwa mereka tidak akan menandatangani kesepakatan apapun dengan Otoritas Palestina. ketika Ehud Barack Menhan Israel ditanya soal pembahasannya dengan presiden Husni Mubarak di Iskandariah dia mengatakan: kami berharap terjadi peristiwa perundingan sebelum akhir tahun. Ini menandakan ada keyakinan Israel bahwa Washington sudah yakin tidak mampu menemukan format perundingan antara kedua pihak yang bisa mendirikan negara Palestina. namun untuk menyelamatkan muka Mahmod Abbas tidak akan meminta kepada Condalizza Rice ketika bertemu dengannya di September kecuali hanya kejelasan hasil yang dicapai kedua pihak Palestina dan Israel dalam perundingan untuk diajukan kepada pemerintah Amerika. Sehingga perundingan ke depan kesannya tidak memulai dari nol. Janji pemerintah Amerika untuk mendirikan negara Palestina selama sepanjang tahun lalu hanya menguap. Pemerintah Amerika manapun yang menyikapi warisan pendahulunya hanya dianggap sebagai acuan dan gagasan bukan politik dan sikap yang harus dikomitmeni seperti yang terjadi di era Bush selama delapan tahun maka realitanya mereka hanya mengakui bahwa Palestina dan Israel akan memulai perundingan baru dari nol di tahun depan. Meskipun seandainya John Mc Cain dari partai republic memenangi pemilu. Israel sendiri mengetahui hal ini dengan baik dan mereka menggantung harapannya kepada AS. Barack menyatakan dengan serius tidak percaya bahwa kesepakatan Palestina dan Israel akan tercipta di akhir tahun.

Rute perundingan Annapolis kembali ke titik nol dengan kemauan OP dan Israel dengan faktor yang berbeda. Rute beralih ke masalah lain yang lebih berpangaruh dalam menentukan masa depan dari sekarang hingga empat tahun ke depan bagi pemerintah Amerika yang baru masalah itu adalah sikap internal Palestina. Sudah jelas kedua pihak OP dan Israel sangat peduli dengan hubungannya sekarang dan masa mendatang dengan Hamas dan kondisi di Gaza. Yang baru sikap ekstrim Fatah berkurang dalam masalah dialog dan kerjasama dengan Hamas setelah sebelumnya sangat ekstrim. Namun kini Fatah sedang memainkan bola terakhirnya dengan melemparkannya ke Mesir untuk menyelesaikan Hamas. Sementara Israel kelihatan sangat lentur dengan Hamas dimana sebelumnya sangat memusuhi artinya ada keyakinan bahwa jika ada perundingan Israel dan Palestina maka harus melalui Hamas terlebih dulu.

Barack mengatakan sesuatu yang penting di Iskandariah yang mencerminkan arah pemikiran ini meski hanya menguji. Zionis yang satu ini terkenal sangat keras permusuhannya kepada Hamas. Ia adalah pemilik gagasan menyerang Gaza untuk menghentikan perlawanan. Namun sikapnya berubah setelah Mesir memiliki peran efektif dalam memediasi gencatan senjata dengan Hamas. Menhan Israel ini menegaskan“bahwa sudah difokuskan masalah gencatan senjata di Gaza dan dibutuhkan upaya serius untuk memanfaatkan peluang memulai perundingan soal pembebasan serdadu Gilad Shalit. Kami berharap agar masalah ini tidak membutuhkan waktu lama sebelum dimulai perundingan intens yang berakhir dengan pembebasan sang serdadu.“. pernyataan Barack ini bersamaan dengan pembebasan puluhan tahanan Palestina dan juga bersamaan dengan Abbas membentuk komite menyelesaikan masalah tahanan politik di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sejumlah sumber Palestina menilai perintah Abbas mengirim pasport ke Gaza sebagai bukti kejujuran pemerintah Fatah untuk memulai melakukan dialog internal Palestina.

Israel dan OP sama-sama mengetuk pintu Hamas karena faktor yang berbeda. Israel yang merasa sedang dengan kesempatan gencatan senjata dan kemungkinan dibebaskannya Shalit menilai bahwa situasi di Gaza yang dikuasai Hamas makin hari makin kokoh dan menguat. Artinya bagi Israel kini ada pihak Palestina yang berpengaruh yang bisa diajak berunding meski tidak secara langsung dan akan menghasilkan keputusan-keputusan politik di masa depan. Bisa jadi di masa depan Hamas menjadi pihak yang mereprsentasikan Palestina di masa depan. Apalagi di kalangan Israel ada suara yang ingin meminggirkan Mahmod Abbas dari kesepakatan perundingan.

Di sisi lain sikap Jorndania yang berubah dengan mendukung Hamas akan dimanfaatkan oleh Israel untuk melakukan perundingan dengannya. Israel akan lebih memilih berunding dengan pihak yang lebih kuat yakni Hamas dari pada berunding dengan pihak lemah seperti pemerintah Abbas.

Dengan perkembangan ini pemerintah Abbas merasa gusar. Mereka akhirnya menempuh langkah melakukan dialog dengan Hamas. Meski Abbas mensyaratkan dialog harus memihak kepada kepentingannya. Artinya Abbas ingin mengakhiri peran politik Hamas. Selama ini Abbas memiliki tiga opsi mengakhiri masalah di Jalur Gaza. Pertama mengembalikan masalah kepada kondisi sebelum 13 Juni 2007 pembentukan pemerintah yang memihak dengan pemilu Palestina yang baru membuat markas keamanan di Gaza yang berada di bawah kendali Arab.

Namun ternyata Mesir tidak sepenuhnya setuju dengan cara berfikir Fatah sebaliknya ingin Palestina bersatu. Meski pun Fatah meletakkan sejumlah syarat dalam menghadapi Hamas. Fatah menolak memisahkan Palestina menjadi Gaza dan Tepi Barat. Fatah juga menolak Hamas mempermainkan tahanan Shalit dan perlintasan sebab hal itu tidak akan mengubah sikap Amerika dengan menekan Israel dan tidak akan berunding dengan Hamas.

Akhirnya Fatah tidak akan percaya bahwa Hamas menghormati partisipasi dalam pemerintahan. Fatah ingin mengakhiri persepsinya bahwa Hamas berperan dalam mempengaruhi politik degan kekuatan dan kemampuan yang lebih besar. Dari sanalah Fatah terjebak dalam dilematis yang berbalik dari anggapannya.

Di samping itu blokade tidak akan membantu Washington dalam mewujudkan cita-citanya. Karenanya logika yang mengatakan bahwa Hamas mungkin berubah menjadi pihak kuat dalam perundingan Palestina tidak bisa dielakkan. Barangkali hasil akhir dialog faksi-faksi akan mengungkap peluang terjadinya hakikat sesungguhnya di realitas lapangan. (bn-bsyr)

Short Url:

Coppied