Dr. Abdul Athi Muhammad
Setahun setelah peristiwa ‘kudeta’ atau kebijakan militer Hamas di Jalur Gaza pada Juni 2007 dan setahun perundingan Palestina – Israel yang menghasilkan konferensi Annapoliis dengan naungan Amerika namun hanya menemui jalan buntu. Hubungan antar Palestina tidak membaik. Bahkan Otoritas Palestina pimpinan Abbas sampai kepada keyakinan bahwa tidak akan terjadi kemajuan dalam perundingan damai hingga akhir tahun ini dan mereka berharap hal itu. Otoritas Palestina juga menilai upaya Amerika dan
Selama sepekan lalu ada perkembangan soal persepsi perundingan baik di pihak Palestina atau
Rute perundingan Annapolis kembali ke titik nol dengan kemauan OP dan Israel dengan faktor yang berbeda. Rute beralih ke masalah lain yang lebih berpangaruh dalam menentukan masa depan dari sekarang hingga empat tahun ke depan bagi pemerintah Amerika yang baru masalah itu adalah sikap internal Palestina. Sudah jelas kedua pihak OP dan Israel sangat peduli dengan hubungannya sekarang dan masa mendatang dengan Hamas dan kondisi di Gaza. Yang baru sikap ekstrim Fatah berkurang dalam masalah dialog dan kerjasama dengan Hamas setelah sebelumnya sangat ekstrim. Namun kini Fatah sedang memainkan bola terakhirnya dengan melemparkannya ke Mesir untuk menyelesaikan Hamas. Sementara Israel kelihatan sangat lentur dengan Hamas dimana sebelumnya sangat memusuhi artinya ada keyakinan bahwa jika ada perundingan Israel dan Palestina maka harus melalui Hamas terlebih dulu.
Israel dan OP sama-sama mengetuk pintu Hamas karena faktor yang berbeda. Israel yang merasa sedang dengan kesempatan gencatan senjata dan kemungkinan dibebaskannya Shalit menilai bahwa situasi di Gaza yang dikuasai Hamas makin hari makin kokoh dan menguat. Artinya bagi Israel kini ada pihak Palestina yang berpengaruh yang bisa diajak berunding meski tidak secara langsung dan akan menghasilkan keputusan-keputusan politik di masa depan. Bisa jadi di masa depan Hamas menjadi pihak yang mereprsentasikan Palestina di masa depan. Apalagi di kalangan Israel ada suara yang ingin meminggirkan Mahmod Abbas dari kesepakatan perundingan.
Di sisi lain sikap Jorndania yang berubah dengan mendukung Hamas akan dimanfaatkan oleh Israel untuk melakukan perundingan dengannya. Israel akan lebih memilih berunding dengan pihak yang lebih kuat yakni Hamas dari pada berunding dengan pihak lemah seperti pemerintah Abbas.
Dengan perkembangan ini pemerintah Abbas merasa gusar. Mereka akhirnya menempuh langkah melakukan dialog dengan Hamas. Meski Abbas mensyaratkan dialog harus memihak kepada kepentingannya. Artinya Abbas ingin mengakhiri peran politik Hamas. Selama ini Abbas memiliki tiga opsi mengakhiri masalah di Jalur Gaza. Pertama mengembalikan masalah kepada kondisi sebelum 13 Juni 2007 pembentukan pemerintah yang memihak dengan pemilu Palestina yang baru membuat markas keamanan di Gaza yang berada di bawah kendali Arab.
Namun ternyata Mesir tidak sepenuhnya setuju dengan cara berfikir Fatah sebaliknya ingin Palestina bersatu. Meski pun Fatah meletakkan sejumlah syarat dalam menghadapi Hamas. Fatah menolak memisahkan Palestina menjadi Gaza dan Tepi Barat. Fatah juga menolak Hamas mempermainkan tahanan Shalit dan perlintasan sebab hal itu tidak akan mengubah sikap Amerika dengan menekan Israel dan tidak akan berunding dengan Hamas.
Akhirnya Fatah tidak akan percaya bahwa Hamas menghormati partisipasi dalam pemerintahan. Fatah ingin mengakhiri persepsinya bahwa Hamas berperan dalam mempengaruhi politik degan kekuatan dan kemampuan yang lebih besar. Dari sanalah Fatah terjebak dalam dilematis yang berbalik dari anggapannya.
Di samping itu blokade tidak akan membantu Washington dalam mewujudkan cita-citanya. Karenanya logika yang mengatakan bahwa Hamas mungkin berubah menjadi pihak kuat dalam perundingan Palestina tidak bisa dielakkan. Barangkali hasil akhir dialog faksi-faksi akan mengungkap peluang terjadinya hakikat sesungguhnya di realitas lapangan. (bn-bsyr)