Ahmad Al-Hailah*
Menlu Amerika Rice dalam kunjungannya ke Palestina beberapa waktu mendatang akan menghdapi situasi sulit dalam tugasnya mempersiapkan konferensi internasional di Amerika. Sebab Olmert terlebih dahulu mengumumkan (16/09) di depan kabinet dari Partai Kadema bahwa niat Israel cenderung hanya cukup mengumumkan deklasi hasil pertemuan bersama dan bukan kesepakatan prinsip-prinsip. Ada perbedaan antara kesepakatan atas prinsip-prinsip dengan deklarasi.” Olmert menambahkan “Kami sedang mengkristalkan deklarasi bersama jika jadi diselenggarakan konferensi”
Kata-kata ini sangat jelas. PM Israel menegaskan arah pikiran dan sikapnya untuk inti konferensi internasional di Washington musim gugur mendatang. Artinya konferensi itu akan gagal. Menurut prediksi penulis sangat sulit Menlu Amerika Rice – jika niatnya benar – untuk mengubah inti orientasi Olmert sehingga bisa dipadukan dengan harapan-harapan presiden Mahmod Abbas. Setidaknya ada sejumlah faktor terkait dengan internal Israel. Yang terpenting sebagai berikut:
Pertama orintasi Olmert bahwa konferensi akan terfokus pada deklarasi niat bersama mencerminkan opini publik Israel yang menolak memberikan kompromi soal solusi final (tentang negara Palestina berdaulat penarikan Israel dari wilayah Palestina Al-Quds pengungsi Palestina air…). Penegasan Olmert juga mencerminkan ketakutan PM Israel ini akan berbenturan dengan opini publik Israel yang meragukan hasil perundingan dengan presiden Mahmod Abbas. Apalagi popularitas Olmert dan pemerintahannya sendiri mengalami penurunan menyusul kekalahan Israel dalam perang Libanon tahun silam. Sehingga Olmert sendiri khawatir terhadap tindakan gambling yang hanya memberi peluang politik kepada rivalnya Menhan Israel ketua Partai Buruh Ehud Barak dan ketua Partai Likud Netenyahu. Dalam hal standar perdamaian Agustus 2007 harian Israel Haaretzl edisi 10/09 melansir bahwa 73% publik Israel meyakini pemerintah Olmert dan Abbas terlalu lemah untuk menandatangani kesepakatan damai atas nama dua bangsa. Smentara 495% menyatakan bahwa Olmert memulai kontak dengan Abbas untuk memperkuat posisinya setelah komite Pinograde menurunkan laporan kekalahan Israel dalam perang Libanon.
Kedua keyakinan Menhan Barak bahwa di dalam kubu Fatah dan Hamas adalah dua wajah satu mata uang dan Abbas dan Fayyadl terlalu lemah untuk menrapkan pasal-pasal yang disepakati. Ia melihat darurat keamanan bagi Israel menuntut tidakadanya penarikan dari Tepi Barat lima tahun ke depan. Jangka waktu ini darurat bagi Israel untuk memperbaiki teknologi militernya menghadapi roket-roket lawan Israel termasuk roket Palestina yang mengancam keamanan Israel. Sejumlah sumber Israel memprediksi bahwa roket Palestina akan berkembang sehingga memiliki jarak tempuh 15 km sehingga bisa menembus kota Askalan. Karenanya Barak menolak keras penghapusan perlintasan militer dari Tepi Barat karena sedang dalam studi kebutuhan keamanan Israel.
Keyakinan Barak ini tidak bisa diacuhkan. Sebab ia memiliki pengaruh besar dalam pembuatan keputusan politik Israel terutama setelah kegagalan Israel dalam perang Libanon. Barak adalah sosok militer Israel yang lebih mengetahui kebutuhan keamanan Israel di mata publik Israel. Ia yang menyerukan Pemilu dini sebab ia sosok yang tamak untuk menjadi PM Israel. Karena tidak ada jalan baginya kecuali harus ekstrim dengan Palestina. Begitulah memang cara elit Israel selama ini merebut hati warga Yahudi dengan menunjukkan sikap keras dan ekstrim dalam menumpahkan darah dan hak-hak Palestina.
Ketiga keraguan intitusi keamanan Israel terhadap kemampun Abbas dan pemerintah Fayyadl untuk menerapkan komitmen-komitmen keamanan yang akan disepakati dalam konferensi musim gugur mendatang. Apalagi Israel mulai mengaitkan kesepakatan politik engan komitmen pemberian keamanan dari pihak Palestina. Jika Mahmod Abbas gagal menunjukkan kekuasaan keamanannya di Tepi Barat bagaimana ia bisa wujudkan di Jalur Gaza?
Faktor di atas faktor lainnya menciptakan keyakinan para Israel bahwa tidak ada gunanya memberikan kompromi kepada Palestina yang direpresentasikan dalam diri Presiden Mahmod Abbas. Dalam perpolitikan pihak yang lemah tidak ada tempat bagi mereka sebab yang kuat tidak akan memberikan kompromi secara gratis.
Olmert akan terus menerapkan politik kekerasan dan embargo kepada terhadap Jalur Gaza. Olmert kemudian ingin mempermainkan Abbas seburuk mungkin. Ia ingin dijadikan wakil keamanan di Tepi Barat dengan kompensasi bantuan ekonomi plus janji-janji politik kosong dalam banyak perundingan digelar.
Kita menyadari bahwa presiden Abbas sedang mengalami krisis internal setelah peristiwa Gaza. Ia juga mengalami krisis Arab setelah ia menolak semua negara Mesir Saudi Yman dan Sudan menjadi mediator mengajak untuk dialog internal. Bahkan Abbas juga mengalami krisis internasional setelah banyak indikasi kegagalan akan menyelimuti konferensi internasional mendatang sebab Olmert sudah mengosongkan ruangnya bagi Abbas. Namun Abbas bukan berarti kehilangan alternatif. Ia masih memiliki kesempatan untuk berdialog dengan Hamas untuk mengembalikan kesatuan. Apalagi Hamas yang mengajak dialog itu dengan dasar kesepakatan dialog Mekah.
Riyadl dan Kairo juga masih memiliki peluang untuk menghimpun Fatah dan Hamas dalam kesepakatan Kairo dan Mekah yang sudah pernah dilakukan. Apalagi negara Arab sudah semakin sadar dan yakin bahwa pertemuan internasional membahas masalah Palestina hanya akan menambah kompromi dan keterpecahan Arab dan Palestina dengan kompensasi keuntungan politik bagi Bush dan Olmert setelah keduanya pailit di Libanon dan Irak. Keduanya sedang membutuhkan legitimasi Arab dalam prediksi perang terhadap Irak dan Suriah. Inilah yang kemudian mendorong Menlu Arab Saudi Suud Faishal (14/09) menyatakan “Jika konferensi internasional tidak membahas masalah-masalah serius memecahkan konflik dan mengajukan prakarsa Arab secara fokus utama memberikan schedul kerja yang mewajibkan Israel menarik diri dari wilayah jajahan Palestina maka konferensi itu tidak memiliki arti dan hanya akan menyebabkan Israel mengulur-ulur waktu dalam perundingan.”
Dari sinilah penulis menyerukan kepada Presiden Abbas untuk berani dan meninggalkan kepentingan golongan dan pribadi dengan berhenti menggadaikan sikap kepada Amerika dan Israel berhenti melakukan pertemuan dengan Ehud Olmert. Sehingga ia mampu meluruskan peta politik Palestina dengan kembali kepada dialog internal untuk mengembalikan kesatuan bangsa.
*Kolumnis Palestina tinggal di Damaskus