Abdullah bin Ali Al-Alyan
Hari-hari ini adalah 67 tahun mengenang Nakba 1967. Tak ada satupun resolusi PBB atau janji-janji pihak Barat kepada Palestina untuk mendirikan “negara Palestina yang layak hidup” terealisasikan sesuai lontaran janji mantan presiden Amerika George Walker Bush bahwa Palestina berdiri tahun 2005. Sikap Israel masih mempertahankan pemukiman di Tepi Barat dan Al-Quds dan tidak mau menarik diri dari wilayah tersebut. Ini tidak sesuai dengan resolusi PBB. Bahkan kekerasan penjajah terhadap rakyat Palestina di Al-Quds dan Tepi Barat semakin meningkat. Janji dan jaminan berdirinya negara Palestina hanya ilusi setelah lebih dari 24 tahun sejak konferensi perdamaian Madrid titik awal perundingan Israel dan Palestina.
Herannya pejabat Amerika dan barat hanya diam atas kekejaman dan tindakan penjajah zionis Israel. Lebih aneh lagi mereka masih menyebut Israel sebagai negara berperadaban dan demokratis. Pembangunan pemukiman Yahudi dibangun dengan dukungan dan perlindungan negara selama 5 abad atau lebih. Mereka diberikan perlindungan dan sarana tinggal tetap. Jika dirujuk kepada sumber-sumber asli rasisme zionisme maka kita temukan proyek zionisme rasis ini dilahirkan dari rahim pemikiran etnis yang menyerang Eropa. Ketika muncul gagasan di barat tentang kulit putih yang lebih unggul secara etnis akal dan peradaban maka zionisme mengeluarkan teori “bangsa tuhan terpilih”. Sebagaimana barat memiliki misi peradaban zionisme juga akan memiliki nasionalisme baru di Palestina dengan misi peradaban dan demokrasi inilah yang ditegaskan dalam buku Hertezl “Negara Yahudi” yang terbit di tahun 1896.
Strategi zionisme rasis Israel sebagaimana kata Dr. Muhammad Abed Jabiri didasarkan kepada lima poros utama:
– Menyebarkan pemikiran gagasan zionisme (mendirikan negara untuk bangsa Yahudi di Palestina) untuk menghimpun seluruh warga Yahudi di dunia.
– Meyakinkan penguasa-penguasa di Eropa akan pentingnya keberadaan negara Yahudi di Palestina bagi proyek ekspansi dan ambisi imprialisme mereka.
– Infiltrasi di sistem ekonomi dan keuangan serta mengendalikan kunci-kuncinya di Eropa dan dunia.
– Bekerja hegemoni budaya di dalam masyarakat Eropa dan di kalangan kiri sosialis sebagai alternatif masa depan.
– Meyakinkan negara-negara Eropa yang bersaing atas Timur Tengah bahwa berdirinya negara Yahudi di Palestina akan menjadi paku pasak pertama dan mendasar dalam memasung imprialisme Otoman yang merupakan musuh bersama dan kepentingan bersama bagi negara-negara Eropa.
Gerakan zionisme yang didasarkan kepada poros pertama (mengikat Yahudi Eropa dengan proyek zionisme dalam mendirikan negara Yahudi di Palestina) memiliki dua tujuan mencari dukungan bagi proyek zionisme antar yahudi sendiri yakni me-zionis-kan Yahudi Eropa sendiri di satu sisi dan menciptakan opini publik Eropa untuk kepentingan Yahudi dengan menyebut mereka sebagai kelompok tertindas dan terlarang tertindas di negeri mereka berada dan terlarang dari negeri asal mereka di Palestina.
Jika itu diterjemahkan ke dalam bahasa globlisasi maka isu zionisme adalah isu bangsa yang terlarang dari persamaan yang terhalang dari hak mereka menjadi bangsa yang memiliki negeri dan negara. Maka zionisme menjadikannya ini sebagai isu yang menuntut keadilan dari pandangan moderdinasi. Jadi zionisme ini menjadikan ini sebagai isu yang menuntut tindakan logis sebagai sebuah bangsa dan demokrasi (persamaan).
Muncul pertanyaan lantas siapa yang harus dikorban demi memenuhi tuntutan hak yahudi memiliki negara di Palestina. Al-Jabiri menegaskan pemikir Eropa belum terbersit pertanyaan itu. Sebab Palestina dan sekitarnya bagi ideology modern Eropa adalah wilayah yang dihuni oleh kaum yang membutuhkan peradaban di ataranya mereka. Maka zionisme menemukan alasan untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan mereka bahwa jargon persamaan hak memiliki negara menyebarkan peradaban dan hak Yahudi memiliki negeri. Maka Eropa membantu penerapan konsep “hak yahudi memiliki nasionaliti Yahudi dalam bentuk negara di Palestina sehingga mereka bisa mendapatkan hak persamaan seperti bangsa lain yang ingin membangun peradaban.
Zionisme sebagai gagasan pemikiran dan politik serta peradaban tidak bertentangan dengan jargon modern Eropa di abad 19 lalu.
Dalam bukunya “Tanah Lama Yang Baru” Hertezl mengatakan “Yahudi tidak akan berbuat apapun di tanah air lama yang baru “Palestina” selain hanya memindahkan lembaga-lembaga berperadaban ke sana.
Pemukiman Yahudi yang terus berlanjut dan Israel tidak serius dalam perdamaian perundingan belakangan dengan Israel hanya digunakan oleh Israel menunda-nunda komitemen mereka terhadap perundinga.
Rillnya elit Palestina sangat disayangkan memberikan andil dalam menurunnya isu Palestina karena terjadi konflik internal dan kepentingan mereka. Israel hidup tenang karena elit Palestina dan Arab saling terlibat konflik. Semakin keras Palestina dan Arab berkonflik maka Israel akan semakin kuat. (at/infopalestina.com)