Hal yang terlarang di kalangan bangsa Arab dan ditolakrakyat saat ini menjadi obyek yang bisa dimanipulasi di jaman normalisasi Arab -Israel di periode kelemahan politik Arab di kancah regional. Itu terjadi dikalapemimpin abnormal berada di lokomotif penentu sikap sejarah.
Bahrain adalah negara Arab keempat yangmenjalin hubungan diplomatik penuh dengan “Israel” setelah MesirYordania dan Uni Emirat Arab. Ini menjadi merupakan terobosan negatif baru bagisikap historis Arab dalam masalah Palestina.
Dua hari lalu duta besar Bahrain untuk TelAviv Khaled Al-Jalahma bertemu dengan menteri luar negeri Israel Yair Lapid.Di hari yang sama Israel mengumumkan penunjukan duta besar pertamanya untukManama setelah normalisasi hubungan antara kedua negara pada tahun 2020.
Al-Jalahima menyerahkan salinan kredensialnyakepada menteri luar negeri Israel sesuai dengan protokol yang berlakusementara “Israel” mengumumkan penunjukan duta besar pertama untukBahrain menurut sebuah pernyataan pemerintah Israel dalam bahasa Arab diTwitter.
Dan mengingat penurunan peran politik Mesir dikawasan itu dan absennya peran Irak dan Suriah peran negara-negara Arab kecildan kerajaan -kerajaannya muncul dalam bentuk sikap membuat formasi regionalsetelah revolusi Musim Semi Arab pada tahun 2011 yang menguntungkan Israelsekutu pertama Amerika Serikat di kawasan itu.
Pemulihan Hubungan dengan Israel
Kuorum koor politik dalam isu normalisasi Arabselangkah demi selangkah dengan penetrasi sikap Arab yang secara historismencatat sikap menolak legitimasi pendudukan Israel. Masyarakat Arab dan jugapemerintah-pemerintahnya selama ini menolak Israel.
Manama (ibukota Bahrain) sebelumnya telah menandatanganiperjanjian normalisasi dengan Israel pada tahun 2020 setelah pembahasan delegasibersama Israel dan Amerika. Sementara di sisi lain Manama menjadi tuan rumahkonferensi perdamaian ekonomi pada Juni 2019 di bawah sponsor Amerika untuk mendoronginvestasi di wilayah Palestina sebagai salah satu hasil dari kesepakatan Dealof Century.
Meskipun pakem hubungan internasionalmenetapkan “Tidak ada permusuhan abadi dan tidak ada perdamaian abaditetapi yang ada adalah kepentingan abadi” posisi politik Arab pada masalahPalestina merupakan stasiun permanen dalam sejarah konflik dengan”Israel” sejak Nakba.
Talal Okal seorang analis politik menegaskanbahwa pembentukan hubungan diplomatik penuh Bahrain dengan “Israel”adalah tindak lanjut langkah awal yang salah ketika Bahrain memulai prosesnormalisasi yang luas dengan “Israel”.
Dia menambahkan kepada Pusat InformasiPalestina “Bahrain adalah negara yang tidak berpengaruh di tingkatpolitik regional. Yang terjadi semata-mata adalah runtuhnya nilai-nilai Arabyang diretas Israel melalui keberhasilannya dalam menormalkan hubungan dengannegara-negara Arab. “
Pembentukan hubungan diplomatik penuh antara duanegara (Israel dan Baharin) memungkinkan untuk pertukaran duta besar dan menyepakatiperjanjian ekonomi politik militer dan keamanan. Dalam konteks normalisasi Israeldalam perjalannya menuju legitimasi keberadaannya sebagai entitas pendudukan akandilayani lebih dari negara Arab mana pun.
Sementara Tayseer Muhaisen seorang analispolitik menyinggung bahaya percepatan hubungan politik antara negara-negaraArab dan Israel di mana Bahrain sekarang berpartisipasi setelah Uni EmiratArab.
Kepada Pusat Informasi Palestina Tayseermenyatakan tidak ada kepentingan Arab dalam hubungan diplomatik penuh antaraBahrain dan Israel. Ini semata-mata bentuk kerjasama dan keterbukaan yangkomprehensif dan lengkap antara sebuah negara Arab dan Israel yang memungkinkanmereka untuk merumuskan banyak bentuk kesepakatan.
Kegenitan Arab dari sejumlah negara Telukterhadap Israel terjadi dalam beberapa tahun terakhir selaras dengan apa yang Israeldan Amerika Serikat propagandakan tentang bahaya Iran di kawasan dan ketakutanrezim Arab jika tidak ada dukungan Amerika untuk mereka. Ini mirip denganditinggalkannya Amerika terhadap rezim mendiang Presiden Mesir Hosni Mubarakpada tahun 2011 M.
Alasan Klasik
Normalisasi Arab dengan Israel bukanlah hasilsesaat dan secara tiba-tiba. Negara-negara Arab sudah merahasiakan hubunganpolitik dan ekonomi tidak langsung dengan Israel sementara negara-negara Arab &ldquocincin&rdquo(tetangga Israel) sudah menjalin menjalin hubungan diplomatik secara resmisetelah bertahun-tahun konflik.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) meneken perjanjianOslo dengan Israel dalam launching proses penyelesaian pada tahun 1993 setelahMesir mendahuluinya dengan menandatangani perjanjian Camp David pada tahun1978 dan kemudian perjanjian Lembah Araba (Wadi Arabah) dengan Yordania padatahun 1994.
Pengamat Okal mengungkapkan keheranannya pada sikapBahrain sebagai negara yang menikmati keragaman sektarian dan menyaksikanberbagai pemberontakan dan protes di Musim Semi Arab. Manfaat hubungandiplomatik dengan Israel untuk mencari dukungan atau melindungi koridor minyakdipertanyakan.
Ibu kota negara-negara Arab yang menjalinperjanjian normalisasi dan hubungan diplomatik dengan Israel selama dua tahunterakhir seperti Maroko Sudan Bahrain dan UEA mendapatkan reaksi protesrakyat menolak legalisasi entitas Israel.
Rezim-rezim dan pemerintahan-pemerintahan Arabyang menempuh jalur normalisasi tampak jauh dari sikap rakyat dan institusi-institusimereka yang telah mendukung perjuangan Palestina sejak Nakba Palestina padatahun 1948.
Dalam membangun hubungan dengan Israel rezimArab beralasan karena perpecahan Palestina terus berlanjut dan tidak ada kesatuanposisi Palestina. Ini menjadi jendela legitimasi untuk menjalin hubungan denganIsrael dimana Amerika Serikat mempertahankan dan menjaga keamanannya di TimurTengah.
Analis Okal percaya bahwa sikap baru Bahrainmencerminkan situasi ketergantungan yang tidak memperhitungkan kepentingannasional dan dimensi kebangsaan. Sementara Otoritas Palestina dan faksi-faksiPalestina menunjukkan sikap penolakan meski tidak memiliki mekanisme aksi.
Dia melanjutkan penolakan Palestina baik otoritasdan faksinya menolak tanpa reaksi yang sesuai secara politik. Seharusnya adatindakan menonaktifkan dan menghentikan rute tanpa memutuskan hubungan dengannegara yang membangun normalisasi karena bangsa Arab adalah satu dengan nasibdan keamanan bersama.
Legalisasi eksisten Israel di ibu kota Teluk menjadititik awal bagi tindakan nyata yang berpihak kepada keamanan Israel dariancaman Iran. Selama dua dekade pemerintah Israel telah membuat propagandaancaman Iran terhadap Teluk Arab.
Analis Muhaisen mengkritik penekenan PLO atas perjanjianOslo yang melangkahi dimensi nasional Palestina dan sikap rakyat asliPalestina yang mengakui negara “Israel” tanpa konsensus nasional danrakyat.
Israel memperoleh pengakuan Palestina ataseksistensinya tanpa mengakui atau memenuhi salah satu hak dan prinsip rakyat Palestinayang didukung oleh banyak resolusi legitimasi internasional melalui PBB.
Muhaisen menambahkan Israel berusaha memanfaatkanpengakuan otoritas Palestina dan merusak komponen-komponen sikap Palestina untuksampai pada tahap normalisasi dan membanggun hubungan resmi dengan negara-negaraArab. Ini capaian strategis bagi Israel yang melampaui semua sikap historis Arab.
Normalisasi Bahrain dan Israel membuat OtoritasPalestina tak berdaya menyalahkan. Pengakuannya Otoritas Palestina atas Israel menjadilahan subur bagi kelahiran normalisasi Arab saat ini dengan Israel. (at/pip)