Tue 6-May-2025

Para Intelektual Israel Ceritakan Kisah Melarikan Diri dari Israel

Rabu 27-Mei-2020

Mereka meninggalkan Israel dan memutuskan untuk pindah dari sana gunamemilih kehidupan pengasingan setelah mereka mengalami tekanan dan pembungkaman.Begitulah yang dialami banyak intelektual dan akademisi Israel.

Dalam laporan yang diterbitkan oleh surat kabar Israel Haaretzpenulis Israel Shani Littman berbicara dengan beberapa intelektual yangmelarikan diri dari Israel ini. Beberapa di antaranya mendirikan gerakanpolitik atau mengetuai organisasi sayap kiri dan asosiasi hak asasi manusiasebelum sebagiannya dipaksa meninggalkan pekerjaan akademis mereka karena ideologidan aktivitas politik.

Mereka merasa bahwa mereka tidak bisa lagi mengekspresikan pendapatmereka di Israel tanpa rasa takut. Mereka merasa tidak lagi memiliki tempat didalam masyarakat Israel.

Dua aktivis di Brussels

Laporan surat kabar Israel itu mengulas kisah Eitan BronsteinAparicio (60 tahun) dan mitranya Eleanor Mirza (40 tahun) yang merupakanseorang akademi yang berspesialisasi dalam antropologi politik. Keduanya meninggalkanIsrael secara permanen dan dikenal sebagai aktivis kiri.

Mereka mendirikan organisasi “Zochrot” yang mengatakandi situs resminya “Menikulkan tanggung jawab pada orang-orang Yahudi atasbagian mereka di Nakba (tragedi) Palestina (tahun 1948) adalah syarat pentinguntuk membangun perdamaian yang adil dan rekonsiliasi antara warga Yahudi danPalestina.”

Keduanya mengungkapkan pesimisnya tentang perubahan di Israel. Keduanyamengatakan bahwa mereka tidak lagi sanggup menghadapi situasi ini. Mereka pindahke Brussel – yang digambarkan Aparicio sebagai pengasingan – tanpa ada rencanauntuk kembali.

Aparicio yang lahir di Argentina dia berimigrasi ke Israel denganorang tuanya ketika ia berusia 15 tahun. Di sana dia mengubah namanya dan mengikutidinas wajib militer. Dia dibesarkan di Kibbutz (pemukiman pertanian militer). Sebelumakhirnya dia melakukan tinjauan intelektual yang membawanya ikut berpartisipasidalam pendirian sebuah organisasi non-pemerintah yang berupaya meningkatkankesadaran tentang Nakba Palestina dan hak rakyat Palestina untuk kembali ketanahnya.

Dari Belgia Aparicio berbicara kepada Haaretz tentangmenyelamatkan putranya dari sistem pendidikan militer Israel. Dia mengatakanbahwa dia tidak melihat prospek reformasi kedamaian sejati atau kehidupanyang baik di Israel. Karena inilah yang disadari oleh banyak dari mereka yangmencari tempat lain untuk hidup.

Pindah tanpa kembali

Dia mengatakan bahwa banyak aktivis yang disebut radikal kiri telahpergi meninggalkan Israel dalam dekade terakhir. Di antara mereka adalahpendiri beberapa LSM yang cukup menonjol seperti: BTselem Breaking theSilence the Coalition of Women for Peace Zochrot dan Mzabin. Yang disebut terakhiradalah gerakan sosialis anti-Zionis yang didirikan pada awal 1960-an oleh paramantan anggota Partai Komunis Israel yang memperjuangkan solusi satu negarayang mencakup penduduk Arab dan Yahudi.

Dia menambahkan bahwa oposisi terhadap pemerintah Israel adalah yangmendorong banyak intelektual ini untuk pergi meninggalkan Israel. Beberapa darimereka menolak untuk melakukan wawancara pers karena mereka merasa tidak nyamandan mencemaskan masa depan ekonomi dan pribadi mereka.

Laporan Haaretz ini mengulas contoh seperti Neve Gordon (54tahun). Seorang akademisi Israel dan merupakan kepala Departemen Politik danPemerintahan di Universitas Ben Gurion di Beersheba. Dia ikut berpartisipasi dalambanyak demonstrasi yang diselenggarakan oleh gerakan Peace Now. Dia merupakanbagian dari gerakan yang menolak dinas wajib militer Israel dan menyatakandukungannya untuk gerakan boikot. Dia menggambarkan Israel sebagai negaraapartheid.

Gordon menjadi sasaran banyak operasi Israel. Pada tahun 2012 MenteriPendidikan Israel Gideon Saar menyerukan pemecatannya.

Gordon mengatakan bahwa dia telah menerima banyak ancaman. Akan tetapiyang membuatnya pergi meninggalkan Israel bukanlah konflik yang dialaminya denganinstitusi pendidikan tinggi atau ancaman pribadi namun lebih pada kekhawatirannyaterhadap masa depan anak-anaknya setelah tidak ada prospek. Untuk selanjutnyadia bekerja di London di mana dia menetap bersama keluarganya.

Sama seperti Gordon Haim Yaqoubi yang telah pindah ke Inggris diapergi meninggalkan Israel juga bukan karena tekanan akan tetapi pertanyaan apayang dia inginkan untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya setelah Israel berubahmenjadi kepala proyek kolonial dan berubah menjadi negara apartheid.

Yaqoubi (55 tahun) mengisyaratkan akan sulitnya pindah bermigrasipada usia lanjut. Dia mengatakan bahwa banyak rekannya di Israel – bahkan diantara kaum radikal kiri – menganggap kepergiannya dari Israel sebagaipengkhianatan.

Dia menambahkan bahwa kekerasan politik di Israel adalah apa yangmembuatnya sadar bahwa keluar meninggalkan Israel adalah satu-satunya pilihanbaginya.

Possible History

Laporan itu juga mengulas kisah sedih penulis artis dan sutradaraAriella Azoulay yang menjadi korban penindasan politik yang memaksanya pergi meninggalkanIsrael bersama suaminya Adi Ophir seorang profesor filsafat dan dosen diUniversitas Tel Aviv yang merupakan tokoh terkemuka kalangan kiri Israel.

Ophir mengatakan kepada Haaretz bahwa Azoulay menerima tawaranpekerjaan di Universitas Brown yang bergengsi yang mendorongnya untuk pergitanpa ada rencana untuk kembali ke Israel.

Dia menambahkan “Degradasi politik dan moral yang menjadibagian dalam kehidupan di Israel sudah tidak tertahankan.”

Dia tidak menyangkal bahwa negara di mana dia tinggal sekarangyakni Amerika bertanggung jawab atas “kesalahan mengerikan” ini. Dia&nbspmenambahkan “Dalam arti iniAmerika Serikat adalah tempat yang mengerikan. Sejak Donald Trump terpilihAmerika menjadi lebih mengerikan.”

Azoulay menolak untuk melakukan wawancara dengan Haaretz. Tetapidia mengirim pernyataan tertulis yang mengatakan bahwa dia mendukung gerakanboikot dan tidak ingin melakukan wawancara dengan surat kabar Zionis danmenolak untuk mendefinisikan dirinya sebagai orang Israel.

Dalam bukunya yang baru dirilis “The Possible History …Abolishing Imperialism” Azoulay menyampaikan apa yang dia sebut sebagai”seruan mendesak untuk menolak imperialisme dan mereformasi duniakekerasan yang kita terlibat dengannya.”

Dalam bukunya dia mengutip banyak cerita di antaranya seoranglelaki tua Palestina yang menolak meninggalkan desanya pada tahun 1948. Yang laintentang seorang wanita tak dikenal di Berlin yang dilanda perang. Yang ketigatentang penjarahan barang-barang dan dokumen-dokumen dari dunia merekakemudian sekarang berada di arsip dan museum. Melalui cerita-cerita ini diamenggambarkan usaha yang ditempuh imperialisme untuk merumuskan waktu ruangdan politik.

Alih-alih mencari masadepan baru Azoulay menyerukan daur ulang sejarah dan membuang pengetahuan imperialismeterus menolak kekerasan kolonial dengan memperkenalkan hakikat yang diciptakansebagai “masa lalu” dan menjadikan reformasi dunia yang terkoyaksebagai esensi politik. (was/pip)

Tautan Pendek:

Copied