Di baratibukota Libanon Beirut 37 tahun yang lalu terjadi pembantaian yang terkenaldan menewaskan lebih dari 3 ribu jiwa mayoritas adalah rakyat Palestina.Mereka mengalami pembantaian biadab yang berlangsung selama hariberturut-turut.
Adegan penyembelihanpembelahan perut ibu-ibu hamil dan pemerkosaan kaum wanita masih terekam dalammemori mereka yang selamat dan mereka selamat dari pembantaian “SabraShatila” untuk menuturkan kisah mereka kepada siapa saja yang simpati danempati pada mereka yang datang dari mana saja.
Realita dankenangan
Seharusnyapembantaian yang mengerikan tersebut menjadi titik tolak perubahan dalammemperlakukan para pengungsi Palestina. Namun kenyataannya adalah sebaliknya.Mereka yang selamat dari pembantaiaan dan rakyat Palestina yang tinggal dikamp-kamp pengungsi hidup terhina sebagai warga kelas dua. Tidak mendapatkanhak-hak sipil mulai dari hak kepemilikan hak untuk bekerja berobat danpendidikan dengan dalih mereka menolak dimukimkan secara permanen dan tidakmenuntut hak kembali ke tanah airnya di Palestina.
Spesialis dalamurusan pengungsi Palestina Yaser Ali mengaitkan antara pembantaian SabraShatila dan apa yang terjadi pada para pengungsi Palestina di Libanon hari inidengan mengingatkan kepada pernyataan mantan PM Zionis Israel Ariel Sharonsebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembantaian Sabra Shatila bahwa”Libanon harus tidak ada yang namanya orang Palestina mereka harus pergike negara lain. Yordania adalah tanah air alternatif bagi orang-orangPalestina.”
Dia menyatakansetelah 37 tahun terjadinya pembantaian tersebut ide dan gagaran pengusiranpara pengungsi Palestina dari Libanon terus berulang namun dalam bentukskenario-skenario baru.
Skenarioterakhir adalah apa yang diusulkan melalui rencana Amerika untuk kompromipolitik di Timur Tengah yang terkenal di media dengan sebutan deal of century.
Yaser Alimenyatakan bahwa deal of century didasarkan pada empat isu utama. Pertamaadalah isu al-Quds kedua isu permukiman-permukiman Yahudi di Palestina ketigaisu perbatasan dan keempat adalah isu pengungsi Palestina yang menjadi esensidan subtansi isu Palestina dan sekarang mereka sedang ditekan untuk hengkangdan bermigrasi.
Yaser Alimenegaskan bahwa rencana pengusiran Palestina dari Libanon sangat jelas selama40 tahun ini. Dalam perang tahun 1976 yang mana terjadi pengepungan Tel Zatardan pembantaian Karantina Tel Zatat Musalakh Jisr Pasha dan era setelahitu Jerman membuka pintu migrasi bagi para pengungsi Palestina. Kemudiansetelah perang pendudukan Israel Swedia membuka pintu bagi para pengungsiPalestina. Dan setelah perang kam-kamp pengungsi antata tahun 1985 dan 1987dimulai tekanan melalui undang-undang terhadap para pengungsi Palestina danInggris membuka pintu bagi para pengungsi Palestina. Kemudian setelah krisis diSuriah Eropa membuka pintunya bagi para pengungsi Palestina dari Suriah.
Dia menyatakan”Tekanan yang dialami para pengungsi Palestina di Libanon adalah akibatserangkaian undang-undang dan peraturan yang dzalim dan tidak adil. Terakhiradalah undang-undang baru soal tenaga kerja. Kombinasi dari semua langkah danprosedur ini dirasakan lebih parah dibandingkan pembantaian Sabra Shatila darisisi pengusiran para pengungsi Palestina.
Dia menambahkan”Kenyataannya undang-undang tenaga kerja yang batu ibarat tembok terakhirsetelah tekanan bertubi-tubi yang dialami para pengungsi Palestina selamapuluhan tahun akibat rasisme yang mereka hadapi dari otoritas yang berkuasa diLibanon. Undang-undang ini ibarat jerami yang menimbun punggung unta dantetesan yang menggenangi gelas. Dengan demikian pengungsi Palestina di Libanonmelihat undang-undang ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakanpolitik untuk mengusir pengungsi Palestina di Libanon terlebih disertai dengandibukanya pintu migrasi legal dan ilegal ke Eropa.”
Mengenai masadepan pengungsi Palestina di Libanon Yaser Ali mengatakan “Kami tahubahwa perjanjian Oslo meninggalkan beberapa masalah untuk diselesaikan secarafinal. Salah satu masalah yang dilakukan perundingan sejumlah pihak adalahmasalah pengungsi Palestina yang kala itu ketua komisinya adalah Kanada. MenluKanada kala itu datang dan melakukan inspeksi terhadap kondisi para pengungsiPalestina di Libanon untuk mengatur rencana pengusiran (migrasi) pengungsiPalestina dari Libanon. Keyakinan saya pekerjaan itu sedang berlangsung dandengan upaya internasional Arab dan regional untuk mengusir pengungsiPalestina dari tempat-tempat pengungsian mereka di sekitar Palestina agarberakhir masalah pengungsi hak kembali pengungsi ke tanah airnya di Palestinamasalah UNRWA dan lainnya. Dan mereka bertolak mencari solusi yang tidakmembebani seperti ini agar tidak menghalangi gerakan mereka dalam kerangkaperundingan solusi akhir.”
Yaser Alimendalilkan dengan apa yang ditegaskan Presiden Amerika Donald Trump sejakbeberapa bulan lalu bahwa dia bisa menghapus isu al-Quds dari mejaperundingan. Dan mereka sekarang juga berusaha untuk menghapus isu pengungsiPalestina dari meja perundingan dengan cara pertama-tama menekan merekakemudian mengusirnya ke tempat sejauh mungkin dari Palestina.”
Tidak adahukuman yang setimpal
Sementara itupeneliti masalah pengungsi Palestina Ahmad Alhaj mengatakan bahwa yangmenambah penderitaan dan rasa sakit yang dialami mereka yang selamat daripembantaian Sabra Shatila adalah tidak adanya hukuman yang setimpal dansepadan atas mereka yang melakukan kejahatan biadab dan brutal tersebut bahkantidak ada tuduhan langsung pada mereka. Laporan hakim Libanon menjauhkan duapihak pelaku utama dari tuduhan tuduhan hanya ditujukan pada Israel saja.Sementara pihak-pihak Libanon yang melakukan pembantaian tersebut masih bebas.Terlebih lagi beberapa pelaku pembantaian telah menjadi pejabat resmi diLibanon. Bukan hanya dibebaskan dari tanggung jawab akan tetapi sudah menjadipejabat yang mengambil ruang luas di media Lebanon. Kejataannya ini sangatmenyakitkan bagi keluarga korban tegasnya.
Diamenambahkan “Tidak mungkin menghapus masa lalu. Yang harus dilakukanadalah paling tidak mengobati dampaknya mrlalui sejumlah langkah sepertimenghukum para pembunuh dan mengakui kejahatan mereka yang mengerikantersebut.”
Dia menegaskan”Kejahatan Sabra dan Shatila bukan hanya balas dendam akan tetapi hasildari konspirasi yang telah direncanakan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengandokumen-dokumen yang terungkap dua tahun lalu. Tekanan dan larangan untuk bisahidup layak bagi para pengungsi Palestina yang terjadi hari ini tidaklahtiba-tiba namun juga sudah direncanakan dengan tujuan untuk mengusirorang-orang Palestina.”
Dia menyamakanpembantaian “Sabra dan Shatila” dengan pembantaian “DeirYassin” yang di antaranya tujuannya adalah pengusiran warga Palestina.Pembunuhan dan pengusiran yang terjadi hari ini terhadap pengungsi Palestina diIrak dan Suriah memiliki tujuan yang sama. Yaitu mengusir mereka.
Dia menyatakan”Pembantaian ini masih terus berlangsung terhadap warga Palestina diLibanon tetapi hari ini melalui undang-undang dzalim seperti undang-undang perburuhandan larangan kepemilikan serta puluhan undang-undang dan peraturan lainnya yangmenarget para pengungsi.” Dia menyamakan undang-undang tersebut sebagai alatpembunuh tanpa darah.
Dia menambahkan”Undang-undang Perburuhan hanyalah bagian tersembunyi yang mencerminkan burukankebencian dan rasisme yang berjalan panjang sejak 1982 yang meledak di Sabradan Shatila.&rdquo
Dia menegaskan bahwa”masa depan Palestina di Libanon tergantung pada sejumlah faktor yangpertama adalah konsensus Palestina-Libanon kecenderungan Libanon serta kecenderungandiri Palestina tidak adanya perpecahan pada mereka dan adanya proyek Palestinayang bisa menghadapi berbagai rencana Amerika Israel bahkan bisa menghadapikekuatan-kekuatan fanatik di Libanon dan radikal yang anti Palestina.&rdquo
Intinya dia menyimpulkan”Palestina sebagai pengungsi menjadi target di kawasan. Karena itu harus lebihwaspada dan tangguh daripada sebelumnya karena konflik sedang menyasar para pengungsiPalestina saat ini.”
Fakta-faktapembantaian
Setiap tahunwarga Palestina memperingati pembantaian Sabra dan Shatila yang terjadi pada16 September 1982 oleh pasukan pendudukan penjajah Israel dan milisi Kristen LibanonPartai Phalange Libanon dan Tentara Libanon Selatan di sebuah kamp pengungsiPalestina di selatan ibukota Libanon (Beirut).
Kamp pengungsi Sabradan Shatila mengalami pembantaian selama tiga hari berturut-turut yangmengakibatkan ribuan warga sipil tak bersenjata gugur termasuk anak-anakwanita dan orang tua yang kemudian dikenal sebagai “pembantaian Sabra danShatila”.
Pembantaian dimulaisetelah tentara pendudukan Israel yang dipimpin oleh Menteri Perang saat ituAriel Sharon dan Rafael Eitan menyerbu kamp pengungsi. Mereka melakukanpemusnahan massal pada penduduk kamp jauh dari sorotan media denganmenggunakan berbagai macam senjata.
Pembantaiandimulai dari tanggal 16 sampai 18 September 1982. Beberapa ribu pengungsiPalestina (pria wanita anak-anak dan orang tua) dibantai secara brutal oleh pasukanmilisi Kristen Libanon yang bekerja sama dengan penjajah Israel.
Pasukan penjajahIsrael telah mengepung para pengungsi dan mencegah mereka melarikan diri darikamp-kamp pengungsi.
Pembantaian ituterjadi pada minggu-minggu di mana Amerika memediatori penarikan para pejuangPLO dari Libanon pada akhir musim panas 1982 dan meninggalkan warga sipilPalestina (pengungsi) yang tersisa tanpa terlindungi. (was/pip)