Jeritan parapenjuang memenuhi atmosfer. Seakan pengeras suara memenuhi pasar-pasar di TepiBarat. Terutama di kota-kota besar. Termasuk kota Ramallah dan Nablus. Daganganbanyak. Tetapi penjualan tidak memuaskan para pedagang. Selain suara menggerutupara pelanggan karena harga yang tinggi tanpa terkontrol menjelang persiapanmasuknya Idul Adha.
Seorang ibu rumahtangga Ola Zidane dari Ramallah mengeluh tentang harga-hara yang tinggi menjelangpersiapan Idul Adha. Uang 400 shekel (atau senilai 15 juta rupiah) tidak cukupuntuk membeli pakaian lebaran untuk tiga anaknya. Terpaksa dia harus meminjam tetangganya100 shekel untuk memenuhi kebutuhan Idul Adha.
Harga-hara melambung
Ola mengatakan”Pedagang memanfaatkan banyaknya pelanggan harga naik tanpa kontrol ataupengawasan. Harga melambung menjelang persiapan hari raya Idul Adha.”
Ibu rumahtangga seperti Ola yang berpenghasilan menengah kondisinya seperti orang-orangkesusahan atau orang-orang miskin di Tepi Barat. Seperti dikatakan ekonomNasser Aziz dari Ramallah. “Kenaikan harga itu gila yang mungkin membuatorang kehilangan selera berbelanja untuk Idul Adha. Tidak masuk akal setiaptahun terjadi kenaikan harga yang melambung bersamaan dengan menjelang IdulAdha” ungkapnya.
Menganai tingkatkenaikan harga Nasser mengatakan “Menurut analisis yang dikeluarkan AsosiasiPerlindungan Konsumen harga pakaian naik dengan kenaikan yang belum pernahterjadi sebelumnya kadang-kadang mencapai 50% dan bahkan 100% karena eksploitasipara pedagang yang serakah yang menganggp Idul Adha sebagai kesempatan untuk meningkatkankeuntungan dan membayar utang-utang dan pajak mereka kepada pemerintah Hamdallah.
Yang mengeluh bukanhanya orang miskin atau pekerja saja. Bahkan para pegawai dan karyawan jugamengeluh. Mu&rsquotas Salamah dari Ramallah mengatakan dia membelanjakan gajinyauntuk Idul Adha yang tersisa hanya 700 shekel. Terpaksa dia harus meminjamsaudarnaya 700 shekel lagi agar bisa memenuhi kebutuhan Idul Adha yang menguraskantongnya.
Sejumlah kalanganlain mengeluhkan harga-harga yang melambung tinggi. Mereka menyebut harga-hargatidak tertahankan menjelang Idul Adha. Kondisi ini menghadirkan bayangan gelappada mereka. Di mana hal itu nampak jelas dengan tindakan para pedagang yang sengajamenaikkan harga tanpa adanya pengawasan.
Lembaga sosialtutup
Warga Palestinadi Tepi Barat menderita pengangguran terselubung. Menurut data statistik dariorganisasi-organisasi internasional seperti Bank Dunia menunjukkan bahwakesenjangan bertambah antara orang kaya dan miskin. Kalangan kelas menengah menghilangbergabung dengan kalangan kelas miskin.
Sejalan dengankenaikan harga kalangan tersebut terkena dampak dengan berlanjutnya penutupan lembaga-lembagasosial Islam milik Hamas dan Jihad Islam oleh Otoitas Palestina. Dari lembaga-lembagaini biasanya orang-orang miskin menerima bingkisan makanan kadang-kadang juga uangdan bahkan mainan untuk anak-anak. Lembaga-lembaga inilah yang menghadirkan sukacitadan kesenangan di rumah-rumah orang-orang miskin terutama anak-anak mereka.
Banyak pedagangmemanfaatkan momen Idul Adha untuk menaikkan harga pakaian kue-kue dan buahyang mengalami peningkatan permintaan menjelang Idul Adha. Para pedagangmenganggapnya sebagai musim panen keuntangan dan nantinya untuk membayar pajak tinggiyang diterapkan oleh pemerintah Otoritas Palestina pada mereka.
Nasri Abd pedagangdari Ramallah berterus terang bahwa Idul Adha adalah kesempatan untuk mengkompensasikerugian mereka. Dia menilai Idul Adhaadalah peluang untuk mendapatkan keuntungan yang banyak. Karena tidak setiaphari adalah hari raya katanya.
Diamenambahkan “Hari raya adalah peluang bagi kami untuk mengganti kerugiankami. Agar kami bisa terus berdagang dengan segenap vitalitas dan aktivitas. Kamikadang-kadang bersimpati dengan orang-orang miskin. Tapi kami juga sering menderitakarena pajak yang harus dibayar banyak dan penjualan rendah setelah lebaran berakhir.Karena itu tidak selamat dari iri hati dan kami tidak selamat dari pajak tinggiyang diterapkan Otoritas Palestina.” (was/pip)