Tue 6-May-2025

Shafadi: Faksi Palestina Harus Bangkitkan Kekuatan Publik untuk Membela Tawanan

Rabu 7-November-2012

Nablus – PIP: Eks tawanan Palestina Hasan Shafadi yang dibebaskan setelah mogok makan selama 168 hari dalam dua tempok terpisah menegaskan bahwa semakin kuat kita mogok makan maka Israel semakin dilematis keluar dari jenis pertempuran ini dengan menang. Di sanalah Israel terkalahkah.

Dalam wawancara khususnya dengan PIP kemarin Kamis (1/1) Shafadi menyatakan semua larangan yang diberlakukan Israel atas hak-haknya pihak keluarga yang tidak mengetahui keberadaannya selama 9 bulan dilarang berkunjung dan komunikasi dengan mereka mendorongnya berjuang meraih kebebasan dirinya.

Saat menggelar aksi mogok makan kami katakan kepada pihak penjara tidak ada perdamaian dengan pihak penjara termasuk dengan intelijen Israel yang menangkap kami. Pihak penjara setiap harinya 3 atau 4 kali memeriksa ruangan tawanan secara represif menyita kebutuhan khusus mereka termasuk pakaian dan menggantinya dengan kostum Palang Merah.

Sejumlah upaya ditempuh pihak Israel untuk mengakhiri aksi mogok makan mulai bujukan dibebaskan dan dideportasi ke Turki sampai paksaan menggunakan kekerasan dan lainnya. Shafdi dibebaskan setelah ada kesepakatan antara pimpinan aksi mogok makan dan pihak penjara Israel yang dimediasi Mesir.

Berikut petikan wawancara lengkapnya:

Kenapa Anda melakukan aksi mogok makan?

Selama 9 tahun saya mendekam di penjara Israel dengan status tahanan administratif tanpa dakwaan dan proses pengadilan. Meski demikian Israel mengancam akan memperpanjang tahanan administratif selama lima tahun lagi. Sebelum penahanan terakhir saya mendekam selama 43 bulan Israel mengancam saja melarang melakukan kontak dengan keluarga maka saya putuskan untuk membebaskan diri dengan cara saya sendiri.

Bagaimana persiapan Anda mogok makan?

Mulanya saya mogok makan hanya 15 hari dan saya hanya minum susu. Setelah itu saya menulis dalam secarik kertas bersama saudara Umar Abu Shalal yang ikut dalam mogok pertama dan kami sampaikan kepada dinas tahanan. Umar Abu Shalal seruangan denganku. Dalam kertas itu kami sampaikan bahwa kami akan mogok makan terbuka menentang dinas intelijen Israel yang menahan kami. Setelah tiga hari Israel memastikan tekad kami. Maka kami dipindah ke sel penjara Jomla. Di sinilah serangkaian tekanan kami harus rasakan.

Bagaimana itu?apa sarana penekan yang digunakan Israel?

Sel sempit digunakan untuk membuat tubuh lelah. Maka saya umumkan untuk mogok minum kemudian mereka mengembalikanku ke ruangan di penjara Magedo dengan syarat minum air. Dua hari kemudian mereka memindahkan lagi ke sel di Jomla. Kemudian aku mogok makan lagi selama 7 hari. tekanan makin keras dari pemeriksaan setiap hari hingga pemeriksaan 3-4 kali dalam sehari. Di sel itu tak ada tikar untuk tidur sebab semua barang milikku mereka sita. Mereka memberikan pakaian Palang Merah. Setelah mogok air fisik makin lemah. Saya merasakan sakit di bagian ginjal. Mereka mengevakuasiku ke RS Asaf Haroviah. Di sana aku tinggal dua hari kemudian dipindah ke penjara Ramleh tempat yang sama dengan Umar Abu Shalal dan Mahmud Sirsik. Aku menolak makan apapun termasuk vitamin. Aparat keamanan dan intelijen Israel mulai melakukan tekanan mental dan fisik. Mereka mulai menawarkan “pengasingan” dari pengasingan ke Turki Qatar Pakistan dan …. mereka bilang jika setuju realisasinya dalam waktu beberapa jam saja. Namun aku menolak keras. Aku harus kembali kepada keluargaku di Nablus saja. Mereka kemudian mengeselku lagi.

Bagaimana kondisi Anda saat itu?

Saat memasuki sepertiga terakhir mogok makan kondisiku memburuk. Namun aksi mogok makan tawanan Palestina mulai mendapatkan perhatian media dan publik. Kami merasakan semakin kuat kita mogok makan maka Israel semakin dilematis keluar dari jenis pertempuran ini dengan menang. Di sanalah Israel terkalahkah. Di hari ke 61 saya menolak makan garam dan obat meski ditekan. Mereka mengancam saya dan memberiku dengan paksa. 11 hari kemudian tim dokter psikologi dan pakar hukum Israel dan mahkamah datang dan kemudian Palang Merah untuk melakukan negoisasi untuk diobati. Mereka mengingatku dengan tangan dan kaki dan menjatuhkanku ke tanah dan kemudian dibungkus dengan tempat tidur. Kemudian mereka menyiramku dengan air garam dan menyuntikku dengan potasium secara paksa. Saat itu juga aku mogok bicara. Aku sadar meski diajukan ke pengadilan tak ada artinya di sebuah negara yang tidak menghormati hukum dan menangkapku tanpa dakwaan.

Bagaimana mogok makan pertama Anda berakhir?

Mogok makan ku hingga hari ke 73. Saat itu diteken kesepakatan anta komite eksekutif tawanan Palestina dan dinas tahanan Israel. Isinya berjanji membebaskanku dan para tawanan yang mogok makan Tsair Halalah Bilal Dzayyab Umar Abu Shalal Jakfar Izzuddin ini karena saudara-saudara kami menegaskan itu dengan mediasi Mesir. Di hari berikutnya saya menghentikan mogok makan. Israel memindahkan ke pennjara Haroviah dan kemudian ke penjara Hadarem.

Kenapa Anda melakukan mogok makan kembali?

Sepekan sebelum dibebaskan badan intelijen Israel mengingkari janjinya. Penahanan administrasi saya diperpanjang 6 bulan. Saat itu juga saya umumkan mogok makan. Mereka memindahkanku ke sel unit 6 di penjara Hadarem yang tertutup. Di ruang penjara itu aku dikumpulkan dengan 4 tahanan gila. Siang malam mereka menggangguku dengan menggedor pintu dan tembok menghalangi tidur dan seterusnya. Itu dilakukan agar aku membatalkan mogok makan. Israel memperhatikan kesehatanku karena khawatir mati di penjara mereka. mereka memindahkan ke penjara Ramleh namun ditolak karena kondisi kesehatanku yang buruk. Kemudian dibawah ke RS Asaf Harofiyah. Di sinilah aku habiskan mogok makan kedua. Israel menawarkan berbagai macam hal namun aku tetap bilang “aku harus pulang ke rumahku”.

Bagaimana respon Israel melihat kegigihan Anda?

Pada 15 Ramadhan mereka memindahkanku ke penjara Hadarem. Sejumlah pasukan menggerebek ruanganku di sana. Saat itu aku tak bisa berdiri dengan kakiku. Saya hanya duduk di atas kursi. Mereka menghardikku. Mereka bilang “Kenapa kamu mau mati demi kami?” aku jawab “Jika aku dibebaskan dari sini” mereka bilang “Kamu gila sebab engkau memukulkan kepalamu dengan kepala kami (negara Israel) sebab kepalamu pasti akan pecah.” Aku bilang “Kepalaku lebih keras dari tembok temboklah yang akan pecah. Saya ingin mati syahid dan tidak ada yang lebih tinggi dari itu bagi saya.”

Akhirnya Israel mentok dan memutuskan untuk membebaskanku. Saat menunggu di penjara Hadarem secara fisik setelah selesai mogok makan saya sudah siap juga secara mental jika sewaktu-waktu Israel memperpanjang penahanan administratif lagi. (bsyr)

Tautan Pendek:

Copied