Fri 9-May-2025

Penyitaan Tanah dan Kebijakan Komisi Perencanaan Zionis Terhadap Arab ‘48

Senin 22-Maret-2010

Infopalestina: Ketika negara Entitas Zionis didirikan tanah yang terdaftar kepemilikan publik kurang dari 10% dari luas wilayah sementara hari ini negara Zionis menguasai 93% dari total tanah di dalam areanya.

Realitas ini merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan dan terus berlangsung sampai hari ini melalui pengambilalihan tanah oleh Negara. Berangkat dari sudut pandang bahwa tanah negara harus ada di “tangan Yahudi”. Negara Zionis melaksanakan pengambilalihan ini atas tanah-tanah Palestina melalui empat cara utama:

1) Penyitaan tanah yang berada di bawah kewenangan otoritas mandatori dan belus terdaftar termasuk tanah-tanah yang diwariskan lintas generasi di tangan keluarga Arab

2) Pengalihan tanah Arab (Palestina) yang dianggap sebagai “properti yang ditinggalkan pemiliknya” menjadi kepemilihan negara Zionis sebagai “properti yang ditinggalkan pemilikan yang telah hadir”

3) Penyitaan tanah untuk keperluan permukiman dan keamanan

4) Menyerahkan kendali atas tanah “Dana Nasional Yahudi” dan perusahaan publik lainnya yang melakukan pembelian tanah selama Palestina dalam Mandatori Inggris.

Proses ini dilaksanakan melalui undang-undang prosedur dan lembaga-lembaga resmi yang memungkinkan melakukan penyitaan sebagian besar tanah yang ada di tangan orang Arab (Palestina) dan kemudian dialihkan menjadi kepemilikan negara.

Jika waktu itu harapannya tanah dikelola oleh negara dan digunakan secara setara untuk kepentingan semua warga negara namun kenyataannya sangat berbeda. Tanah tersebut dikelola oleh negara Zionis dalam upaya menjaga kepentingan penduduk Yahudi saja. Hal itu dilaksanakan melalui dua lembaga: Dinas Pertanahan Israel (ILA) dan Dana Nasional Yahudi (JNF).

Dua lembaga ini mengelola tanah negara dengan kerjasama sangat erat antara keduanya. Selama dekade pertama berdirinya Negara Zionis ada persamaan antara JNF dan negara dalam kewenangan kendali (kontrol) pada tanah. Kemudian terjadi pengalihan tanah negara sehingga berada di bawah otoritas JNF yang sekarang mengausai tanah hingga 17% dari wilayah negara.

Menurut peraturan JNF menguasai tanah tersebut untuk kepentingan orang-orang Yahudi di seluruh dunia sebagai wali mereka. Dengan demikian JNF terikat untuk melakukan diskriminasi terhadap warga Arab dalam mengalokasi tanah yang ada di bawah kendalinya.

Demikian juga terjadi nasionalisasi 76% dari wilayah negara dan dipertahankan sebagai “tanah negara”. Dinas Pertanahan Israel (ILA) mengelola tanah negara dan juga tanah yang dikuasai oleh JNF.

JNF menikmati perwakilan yang sama untuk mewakili negara di dalam Dewan INA. Akibatnya kebijakan Dinas Pertahanan Israel yang merupakan lembaga resmi yang fungsinya untuk menyediakan kebutuhan semua warga telah bekerja berdasarkan diskriminasi dalam pengelolaan tanah. Mereka memberikan prioritas dan preferensi kepada orang Yahudi secara terang-terangan dan kasat mata.

Meskipun berdasarkan keputusan Mahkamah Agung INA tidak diperbolehkan melakukan diskriminasi antara warga negara Yahudi dan Arab dalam pengalokasian tanah tetapi kenyataannya sangat berbeda. Sejak tahun 1948 sampai hari ini telah didirikan sekitar 700 kota Yahudi dan tidak tidak ada satu pun kota Arab yang dibangun di Negara Zionis.

Walaupun orang-orang Arab merupakan 18% dari total penduduk Negara Zionis namun mereka hanya menguasai antara 3% hingga 35% dari wilayah di negara Zionis. Hanya sekitar 2% saja dari wilayah ini yang dialokasikan untuk perumahan hanya tersisa 1% dari tanah tersebut untuk pertanian.

Luas tanah yang dialokasikan untuk warga Yahudi delapan kali lebih besar daripada tanah yang dialokasikan warga negara Arab. Di Galilea penduduk Arab mencapai 72% dari total jumlah penduduk wilayah tersebut. Namun warga Arab hanya memiliki tanah tidak melebihi 16% dari luas wilayah tersebut.

Warga negara yang orang Arab (Palestina) tidak bisa tinggal di komplek perumahan yang disebut “Moshav” “Kibbutz” atau sebuah “Kota Rakyat”. Seperti halnya di tiga kota besar kemampuan warga Arab untuk hidup sangat terbatas karena minimnya infrastruktur dan lpeayanan yang sesuai.

Kenyataan ini memaksa generasi baru Arab untuk hidup dalam kondisi yang penuh sesak (padat) di dalam perbatasan kota-kota Arab yang ada. Akibat dari pengecualian warga Arab dalam proses-proses peraturan negara Zionis tidak memberikan mereka kebutuhan yang sesuai untuk kebutuhan perumahan mereka.

Hasilnya adalah bahwa penduduk Arab (Palestina) di negara Zionis yang jumlah mereka saat ini mencapai 1.340.200 jiwa masih terjebak di wilayah yang sama di saat jumlah mereka 160 ribu jiwa beberapa saat setelah bencana (Nakba) pada tahun 1948.

Panorama 15/3/2010 (asw)

Tautan Pendek:

Copied