Sat 10-May-2025

Kembali ke Perundingan Menurut Para Analis

Senin 8-Maret-2010

Gaza – Infopalestina: Para analis politik sepakat bahwa langkah otoritas “Fatah” di Ramallah yang menerima tekanan untuk melanjutkan perundingan dengan penjajah Zionis adalah berbahaya. Karena hal ini terjadi di tengah-tengah berlanjutnya pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat bersamaan dengan keputusan Netanyahu yang memasukkan Masjid Ibrahimi di Hebron dan Masjid Bilal bin Rabah di Bethlehem ke dalam “daftar warisan nasional Yahudi”.
Penulis dan analis politik Mustafa al-Sawaf mengatakan bahwa “kepatuhan otoritas Ramallah untuk berunding dengan penjajah adalah keputusan bodoh tidak menghargai kepentingan nasional.” Dia menambahkan “Sepertinya mereka tidak memahami misi yang dilancarkan penjajah melalui pengumuman pencaplokan Masjid Ibrahimi di Hebron dan Masjid Bilal bin Rabah di Bethlehem ke dalam (Daftar Warisan Yahudi).”

Langkah Zionis yang mencaplok Masjid Ibrahimi dan Masjid Bilal Ibn Rabah adalah pesan yang jelas kepada rakyat dan tim negosiasi Palestina bahwa sasaran berikutnya adalah yahudisasi seluruh al Quds. Pesan ini mengatakan kepada rakyat bahwa “yahudisasi negara ini” adalah tahap berikutnya. Tujuannya adalah yahudisasi seluruh tempat-tempat di Palestina.

Ini berarti bahwa perundingan kali ini tidak akan lebih baik daripada perundingan-perundingan yang sebelumnya. Perundingan-perundingan ini hanyalah usaha Zionis Israel untuk menghabiskan waktu guna melakukan yahudisasi lebih banyak lagi.

Berbagai media sebelumnya mengungkapkan Otoritas Palestina yang dipimpin Mahmud Abbas memutuskan menerima usulan untuk melanjutkan perundingan dengan entitas Zionis sesuai dengan visi utusan Amerika untuk Timur Tengah George Mitchell. Ini terjadi setelah berbulan-bulan otoritas Ramallah menolak melanjutkan perundingan sebelum penjajah Zionis Israel menghentikan pembangunan di pemukiman-pemukiman Yahudi dan menentukan acuan bagi proses perundingan. Persyaratan otoritas Ramallah ini ditolak oleh penjajah Israel dan Amerika berada di belakangnya. Sehingga Abbas pada akhirnya terpaksa menarik persyaratannya dan menerima kebijakan de facto penjajah.

Kepentingan Lebih Diprioritaskan Daripada Hak-hak!

Sementara itu Dr. Abdel Sattar Qassem seorang profesor ilmu politik di Universitas Nasional An Najah di Nablus melihat bahwa Abbas dan rombongannya lebih mendahulukan kepentingan mereka sendiri bukan melakukan evaluasi obyektif dan ilmiah terhadap jalannya perundingan yang sia-sia.

Qassem mengatakan “Selama situasi ini memenuhi kepentingan mereka maka mereka akan terus melanjutkannya. Jika mereka tidak mau melanjutkan maka mereka akan kehilangan banyak hal seperti mobil mewah kepemimpinan prestise dan uang.” Dia menambahkan “Palestina bagi negosiator Palestina berubah menjadi uang tanah Palestina berubah menjadi mobil darah para syuhada adalah bahan bakar untuk mobil-mobil ini. Saya tidak melihat ada kemungkinan mereka melepaskan apa yang sudah mereka dapat secara sukarela.”

Akademisi Palestina – yang sering mengalami tekanan dari milisi otoritas Ramallah milisi sebagai akibat dari sikap nasionalsmenya – ini menegaskan perlunya ada tekanan dari rakyat Palestina untuk menghentikan lelucon ini. Dia menjelaskan “Ada sebagian rakyat yang sudah dibeli. Ada proses pembelian manusia melalui gaji-gaji yang mereka terima. Di sana juga ada proses pembelian faksi-faksi. Mereka membayarnya dengan biaya kantor dan mobil. Faksi-faksi ini tidak sungguh-sungguh menentang perundingan. Mereka ini hanya mengeluarkan pernyataan-pernyataan tidak suka saja.”

Apakah kondisi ini mempengaruhi rekonsiliasi Palestina Dr. Qassem menegaskan sikapnya dengan mengatakan “Saya tidak melihat ada sebuah rekonsiliasi selama situasinya tetap seperti ini dan akan tetap seperti itu dikarenakan sejumlah alasan yang saya sebutkan di atas.”

Paradoks!

Sementara itu Dr. Naji Syarab profesor ilmu politik di “Universitas al Azhar di Gaza menyebut bahwa harapan kelompok otoritas Ramallah melakukan perundingan di tengah-tengah yahudisasi tempat-tempat suci di Tepi Barat oleh penjajah Zionis Israel adalah sebuah “paradoks”.

Syarab mengatakan “Entitas Zionis merusak semua kemungkinan perundingan yang tidak mungkin kita katakan perundingan itu berhasil. Kontradiksi pada sikap otoritas Ramallah dan entitas Zionis Israel ini sama sekali tidak memberi inspirasi optimisme dan harapan. Karena keputusan entitas Zionis yang mencaplok al Haram al Ibrahimi bukanlah keputusan biasa. Keputusan ini memiliki karakter agama dan politik yang berpegaruh pada masa depan masalah Palestina secara keseluruhan.”

Dia menambahkan “Keputusan Zionis Israel ini cenderung melucuti karakter kesucian tempat-tempat suci ini. Yang ini menegaskan tentang konsep zionisme ‘negara Yahudi’ ini.”

Syarab menjelaskan bahwa penjajah Israel melihat perundingan telah mencapai puncaknya. Telah menunaikan peran yang dibutuhkan. Dan apa yang dilakukan penjajah Zionis Israel bertentangan dengan perundingan-perundingan ini dan keseriusannya.

Syarab menyerukan negosiator Palestina untuk menata kembali berkas-berkasnya. Agar tidak pergi ke perundingan dalam kondisi lemah. Dia menyatakan bahwa kelemahan hanya akan menghasilkan sikap yang lemah.

Sebagai kesimpulan profesor ilmu politik Universits al Azhar Gaza ini mengatakan “Rekonsiliasi harus menjadi prioritas untuk mengakhiri perpecahan.”

Para analis dan masyarakat Palestina secara umum tetap pada consensus bahwa penjajah Zionis Israel memanfaatkan perundingan sebagai alat untuk melegitimasi dan menutup-nutupi kejahatannya merampas tanah Palestina dan tempat-tempat sucinya serta meyahudikannya. (asw)

Tautan Pendek:

Copied