Khairi Mansud
Harian Teluk UEA
Menurut harian Yedeot Aharonot hari-hari ini merupakan hari “Pobia” yang mulai tumbuh dalam benak kaum Yahudi. Diperlukan pendekatan secara psikologis yang lebih mendalam sebagai solusi bagi situasi ini agar bisa dipahami bagaimana sikap Zionis tentang klaim yahudisasi dan Ibraninya ?.
Dalam situasi ketakutan dan kekhawatiran walau didukung kekuatan baik dalam bidang politik militer maupun informasi rasa takut mereka tak kunjung hilang.
Professor yahudi merasa sesak dadanya dan muak dengan pengajaran perang Zionis. Sikap seperti ini mungkin akan diikuti oleh lainya. Karena masker yang menutup wajah Zionis mulai terkuak walau ia memamerkan senyumnya. Ia tetap akan terlihat sebagai monster yang mempunyai taring yang berlumuran darah.
Ternyata masalah ketakutan dan provokasi yang meliputi Zionis saat ini bukanlah perkara baru atau dadakan. Sebelumnya Yael Dayan seorang anak jenderal Moshe Dayyan sebelum pensiun menungkapkan kebobrokan Zionis dengan judul Keberuntungan bagi para panakut”. Demikian juga dengan penulis Ahmad Bahauddin yang yang menulis berjilid-jilid tentang yahudi berbahasa Arab dengan judul “Israiliyat”.
Perbedaannya bahwa kesombongan Israel dalam yahudisasi adalah efek dari ketakutanya secara langsung dari Islamisasi. Generasi Yahudi saat ini tidak percaya pada “kompas” Zionis yang menunjukan sejumlah kekkhawatiranya. Terbukti sebagian besar diantara mereka telah kehilangan tujuan hidup dan krisis moral terjadi di mana-mana. Akibatnya tingkat bunuh diri diantara mereka terus meningkat dan jumlah pemuda yang deserse mangkir dari wajib militer terus bertambah. Ditambah dengan usulan dari kelompok Yahudi Timur atau “Sephardim” terkait sejumlah kasus yang melibatkan penganiayaan dan pandangannya sebagai etnis tertinggi sebagaimana dilakukan Yahudi Barat atau “Ashkenazi.”
Tidak benar klaim yang menyatakan bangsa Arab ketika mereka membaca tentang realitas Zionis mereka akan menjatuhkanya secara politis atau berfikir sesuai kehendak dan mimpi-mimpi mereka.
Apa yang ditulis dan diterbitkan di negara Yahudi maupun di luar negeri tidak dapat diperlakukan sebagai efek samping atau percobaan Yahudi Spartan dari Kibutz atau permukiman yang telah berakhir dengan kegagalan. Ada sejumlah seminar yang diadakan secara marathon di Universitas Ibrani dan lainya untuk mendiagnosis penyakit mental yang dialami kamp-kamp militer yang tidak jauh berbeda dengan penyakit yang dialami di sejumlah kamp tahanan dengan alasan untuk menumbuhkan doktrin militer bagi tentara pertahanan.
Seorang tentara Zionis yang berhasil melarikan diri dari kamp militernya mengatakan untuk dapat hidup disana sangat tidak mungkin kecuali harus berdampingan dengan senjata helm dan peti mati. Kondisi ini terus berulang sejak penyerangannya ke Lebanon tahun 1982 hingga agresinya pada 2006 dan berakhir dengan perang Gaza.
Ketika kita membaca buku harian seorang tentara atau salah satu kisah mereka seorang penulis Arab menggambarkanya sebagai “Duka yang menimpa Yahudi”. Ia menyebutnya kondisi sakit komprehensif dan ketakutan atas Islamisasi bukanlah sebuah ideologi atau preventif semata akan tetapi disebabkan kekosongan jiwa yang dialami Yahudi. Terutama bagi mereka yang berimigrasi ke Palestina pada dua dekade terakhir.
Bagaimana mungkin gambaran surga Firdaus berubah menjadi neraka jahim. Adapun Firdaus sebenarnya bagi mereka adalah tempat dimana mereka dilahirkan dan hidup di atasnya. Contoh yang terbaik adalah Yahudi Rusia yang suka disbut “pasca-perestroika.” (asy)