Tue 6-May-2025

Al-Quds dan Al-Aqsha Target Proyek Dayton

Rabu 21-Oktober-2009

Yasir Za’atirah

Harian Qatar (30/9)

Hari Ahad kemarin (27/9) kita menyaksikan serbuan kalangan Zionis radikal pada Masjid Al-Aqsha. Serangan ini merupakan bagian dari rencana mereka terhadap Al-Quds dan Al-Aqsha. Tentu tidak gampang mengikuti atau memperhatikan proyek Zionis butuh pada pemantauan tiap harinya.

Dan inilah yang dilakukan Syaikh Raed Shalah dan rekan-rekanya yang masih dan akan terus berjibaku bertempur dengan rencana-rencana Zionis. Namun mereka yang hanya sendirian tampaknya belum mampu untuk menghentikan setiap serangan Zionis yang dilancarkan tiap harinya. Terutama terkait dengan perluasan permukiman di Al-Quds berikut penghancuran rumah-rumah bangsa Arab untuk proyek yahudisasi. Walau tentu upaya Syaikh Raed Shalah dan kawan-kawan ini tentu sangat berarti dalam melindungi Al-Aqsha dari gempuran Zionis.

Seiring dengan kedatangan Netanyahu yang didampingi Liberman seorang radikalis kelompok Shats eskalasi penyerangan terhadap Al-Aqsha dan Al-Quds terus meningkat. Dan secara logis tindakan radikal merekapun semakin menjadi-jadi (bukankah sudah menjadi tabi’at mereka begitu?). Diantaranya pengumuman pemerintah radikal yang menyepakati tukar guling sejumlah wilayah di Tepi Barat dengan beberapa tempat di Al-Quds. Akibatnya sumber-sumber bagi warga Al-Quds berhasil dicurinya. Hal ini bisa dilihat dari data terbaru walau sejumlah tuntutan untuk mengecualikan bagian timur Al-Quds justru member kesempatan padanya untuk mensosialisasikan dalam kesepakatan dengan warga Palestina.

Walaupun perjanjian mengenai perluasan permukiman maupun proyek yahudisasi Al-Aqsha terus diperbaharui namun proyek mereka tak pernah berhenti. Sesuai dengan apa yang diungkapkan Ben Gorion (pemimpin Zionis) “Bagi Israel tidak ada artinya tanpa Al-Quds dan tidak ada artinya Al-Quds tanpa Haikal”. Kesimpulanya bahwa Israel dengan segala kebijakanya maupun para pemimpinnya selalu berada di belakang proyek Jabal Haikal.

Yose Belen yang dikenal dengan “Merpati Perdamaian” dan pemilik piagam Jenewa yang termashur beranggapan Jabal Haikal bagi bangsa yahudi atau seluruh ummat Yahudi seperti Makkah atau Ka’bah bagi kaum muslimin. Masing-masing pihak tidak akan menyerahkan dalam masalah ini walau berbeda bentuk generasi ataupun sifatnya.

Apa yang selalu kami ingatkan namun suka dilupakan sebagian pakar teori “Perundingan” bahwa pase yang paling penting dalam sejarah Palestina adalah Intifadah Al-Aqsha 28 September 2000. Dari sinilah basis perlawanan yang secara langsung menolak kunjungan Ariel Sharon terhadap Al-Aqsha untuk menegaskan kepemilikanya. Kemudian mereka mengulangi maksudnya pada 27 September kemarin akan tetapi bersama Sharon-sharon lain. Walaupun kondisi yang lain memungkinkan bagi Sharon untuk melanjutkan maksudnya menguasai Al-Aqsha mengingat perjanjian Kamp David yang menuntut pembagian al-Aqsha menjadi dua bagian. Ketika Israel meminta bagian atas masjid menjadi miliknya dan menguasai sepenuhnya bagian bawahnya demi melanjutkan penggalian di bawah Al-Aqsha untuk mencari Haikal yang mereka klaim.

Intifadah sebelumnya pun terjadi dalam rangka memperebutkan Al-Aqsha. Yaitu tembok al-Buraq Intifadah Abu Ganem sebagai reaksi terhadap permukiman Abu Ganem di Al-Quds yang dipublikasikan Netanyahu tahun 96.

Sesungguhnya apapun yang terjadi terkait dengan pernyataan perundingan ataupun tuntutan dunia internasional untuk ikut campur dalam masalah ini tidak akan berpengaruh apa-apa. Dan terbukti pase perundingan paling banyak terkait dengan masalah permukiman dan yahudisasi. Baik saat perundingan Oslo ataupun saat perundingan dengan para pemimpin baru yang mewaritsi pemerintahan Yasir Arafat. Apalagi saat perundingan Annapolis dan saat ini dalam penantian janji-janji Obama.

Tak ada lagi cara untuk menghadapi rencana Zionis tersebut kecuali dengan menyatukan proyek perlawanan secara utuh dan jelas yaitu mengusir penjajahan dari Palestina tanpa syarat. Adapun penyatuan sikap dalam masalah perdamaian dan Annapolis serta Peta Jalan Damai bisa ditebak hasilnya. Siapapun paham semua hasil dari perundingan tersebut tidak akan menyentuh apa-apa kecuali apa yang telah dicapai pada perundingan Kamp David tahun 2000. Yang intinya melanjutkan proyek yahudinya.

Hari ini kondisinya jauh lebih berat. Ditengah kepemimpinan pemerintahan Dayton (Ramallah) di Tepi Barat. Masjid Al-Aqsha tidak mempunyai siapa-siapa kecuali Raed Shalah dan teman-temanya. Para pemimpin Ramallah sibuk mengusir siapa saja yang akan menjadi pelindung bagi Al-Aqsha. Seperti kelompok perlawanan dari Hamas misalnya. Disamping sibuk mengurusi investasi dan proyek bagi anak-anak dan teman dekatnya.

Demikian juga dengan situasi yang akan dilakukan pemerintahan Salam Fayadh yaitu Negara temporal bagi setengah Tepi Barat yang akan terus berubah bersama bertambahnya usia pemerintahan tersebut selama 10 tahun atau lebih. (asy)

Tautan Pendek:

Copied