Mahmud el-Mubarak-Jazeera.net
Laporan terakhir yang bersumber dari biro kerja sama aktivis kemanusiaan PBB menyimpulkan Israel melakukan kejahatan cleansing etnis di Al-Quds yang menimbulkan pertanyaa besar terhadap peran kepresidenan Palestina selama ini yang termasuk kejahatan terhadap undang-undang internasional.
Walau pelanggaran terhadap undang-undang internasional bukan bukan perkara baru bagi Israel sejak berdirinya Negara Ibrani namun yang terbaru adalah siasat Israel ini tidak datang begitu saja hingga kecaman yang datang dari bangsa Palestina sebelumnya bisa ditafsirkan sebagai bentuk keridhoan atau mimimal tidak adanya penolakan dari mereka.
Berdasarkan laporan dari badan PBB kemarin menegaskan sebanyak 60.000 warga Palestina Al-Quds akan kehilangan tempa tinggalnya. Hal ini termasuk dalam kejahatan terhadap undang-undang internasional pada pasal 49 kesepakatan Jenewa ke empat tahun 1949 paragraf 1D dari pasal 7 undang-undang dasar mahkamah criminal internasional berupa pengusiran secara paksa baik perorangan maupun secara massal. Semuanya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap masalah kemanusiaan.
Mungkin baik disebutkan bahwa kejahatan cleansing etnis merupakan salah satu pilar dasar kebijakan Zionis yang sudah mengakar bukan saja menurut para ahli hukum Arab juga menurut kalangan sejarawan Israel.
Dalam salah satu buku yang berjudul “Pembersihan etnis di Palestina” sejarawan Israel Elan Babah menyaksikan sendiri bagaimana kejahatan yang dilakukan bangsanya terhadap rakyat Palestina pada tahun 1948. Maka pada kesimpulan tulisanya ia menyebutkan Israel telah melakukan kejahatan etnis sejak tahun 1948. Tak kurang dari 800 ribu Palestina diusir dari kampung halamanya saat itu.
Dalam rancangan yang ditetapkan pemerintah Israek disebutkan pemerintah menguasai 45 wilayah Palestina. Belum dua tahun dari rancangan itu militer Israel sudah menghancurkan semua rumah di wilayah Thawil Abu Jarwal di Nagev. Mereka merampas harta milik penduduk Palestina berikut ternak dan tenda-tendanya. Mereka membiarkan warga hidup tanpa perlindungan di tengah teriknya matahari. Bahkan merela menghancurkan sumber-sumber air warga. Inilah kejahatan yang paling biadab dalam sejarah pembersihan etnis yang dilakukan manusia.
Bersamaan dengan ini pemerintah Zionis secara terang-terangan mengumumkan renncananya untuk melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Harian Israel Haaret pada terbitan tanggal 10/5/2009 menybutkan tentang rencana pemerintah Israel yang dulu bersifat rahasia kini diungkapkan pemerintah Ehud Olmert bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan sejumlah organisasi permukiman Zionis yang tujuannya mengelilingi al-Quds dengan sembilan taman Zionis. Untuk pengerjaanya dibebankan pada Yerusalem Development Authority.
AL-Quds dalam undang-undang internasional
Kota Al-Quds termasuk dalam wilayah jajahan. Oleh karena itu berlaku hukum wilayah jajahan sebagaimana termaktub dalam piagam kesepakan Jenewa tahun 1949. Dimana disebutkan tidak boleh melakukan kegiatan penggusuran perampasan pengusiran pembangunan permukiman atau merubah susunan demografis maupun geografisnya.
Beradasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB no 141 tahun 1967 dan no 228 tahun 1973 disebutkan bahwa Israel adalah pasukan penjajah Jalur Gaza dan Tepi Barat termasuk di dalamnya Al-Quds. Oleh karena itu Israel diminta untuk segera hengkang kedua wilayah tersebut. DK PBB pun berulang kali mengeluarkan resolusi yang meminta Israel menghormati al-Quds. Seperti pada resolusi 252 (1968) 267 (1969) 271 (1969) 453 (1979) 465 (1980) 476 (1980) 478 (1980) 1073 (1996) semua mengkonfirmasi bahwa kota Al-Quds adalah bagian tak terpisahkan wilayah pendudukan tahun 1967 .
Sikap Presiden Palestina
Apa yang terjadi ssat ini terhadap al-Quds di depan mata dan telinga dunia berupa yahudisas baik dengan perluasan permukiman maupun perubahan tempat suci di Kota Lama menimbulkan pertanyaan besar dimanakan peran kepresidenan atas tindakan yahudisasi ini ?.
Akan tetapi jika sikap diam mereka terhadap yahudisasi Al-Quds memang masih diragukan pertanyaan selanjutnya bagaimana mereka bisa diam terhadap blockade Gaza yang telah merenggut ratusan orang meninggal karena kelaparan maupun tidak terobati yang semuanya menunjukan kejahatan atas nama kemanusiaan dan pelanggaran berat terhadap undang-undang internasional. Apakah suara pejabat resmi tak mampu hanya sekedar mengecam. Atau mereka tidak mau mengecam kecuali jika ancaman itu datang dari dalam negeri Palestina sendiri ?. (asy)