Sementara itu seorang ibu lain tengah menggendong putri saudaranya tertatih-tatih menuju satu-satunya rumah sakit di
“Ini adalah anak saudaraku (Ahmad al Burini) yang tinggal di samping salah satu pos keamanan. Ketika pos itu dibom rumah itu runtuh menimpa semua yang ada di dalamnya. Saudaraku gugur dan istrinya terluka parah terbaring di rumah sakit.
Sambil berupaya meringankan rasa sakit yang dialami sang bocah mata bercucuran air mata dan berkata “Apa dosa dia terbangun dengan kondisi seperti ini. Tanpa ayah dan ibu.” Kemudian dia menggetarkan kepalanya dan menyudahi “Hasbunallahu Wani’mal Wakil (Cukuplah Allah sebaik-baik penolong kami).”
Pembantaian di Jalur
Bau Mayat
Segera saja kamar mayat di rumah sakit as Shifa yang hanya muat untuk 30-an jenazah penuh sesak di tengah-tengah kedatangan puluhan regu penolong dan warga sipil yang membawa jasad dan ptongan tubuh para syuhada di jalan-jalan rumah sakit sehingga bau mayat memenuhi semua sudut rumah sakit.
Seorang pemuda bernama Muhammad Basyir dengan kedua kali telanjang tergopoh-gopoh sambil menggendong jasad seorang bocah bernama Adi Abu Munsi yang berusia 7 tahun. Dia terkena bom yang mematikan di bagian wajahnya saat dia bersama ayahnya Abdul Hakim yang juga gugur dalam serangan udara
Lobi rumah sakit as Shifa semakin kacau dengan datangnya puluhan mobil ambulan dan mobil warga yang membawa jasad para syuhada dan korban yang luka. Melalui pengeras suara regu penolong menyerukan kepada warga yang mengenali jasad keluarga mereka agar segera dibawa pulang untuk dimakamkan agar tidak membusuk akibat puluhan jenazah yang menumpuk di depan kamar mayat rumah sakit.
Tiba-tiba melengking teriakan seorang ibu Asma (40) yang berjalan di antara jenazah “Dua anak saya gugur.” Tanpa henti menangis dengan kedua kaki telanjang dan kepala terbuka wanita yang telah kehilangan dua darah dagingnya ini berteriak “Biarkan pemerintah Arab berbahagia.”
Sementara itu atas kereta jenazah terbaring jasad Muhammad Abu Sya’ban seorang anggota polisi Palestina. Di sampingnya jasad seorang bocah yang belum dikenali identitasnya. Wisam saudara kandung Abu Sya’ban yang tidak bisa menahan air matanya mengatakan “Ini adalah pembantaian yang mengerikan.”
Abu Jihad (65) warga asal kampong Zaitun di timur
“Aku Kehilangan Penyejuk Hatiku”
Jauh dari rumah sakit Ilyan jatuh pinsan ketika mendengar salah seorang putranya berteriak “Ayah … Izzuddin telah meninggal.” Sesaat kemudian dia terbangun dan menangisi putra terkecilkan yang meninggal dalam serangan udara
Kali ini seluruh anggota keluarga jatuh pinsan. Rafiq bocah berusia 3 tahun berteriak histeris “Papa … Aku ayang papa…Kemana kau pergi…”
Anwar dia meninggalkan seorang istri dan dua bocah kecil. Rafiq anaknya yang berusia 3 tahun tindak henti menyanakan tentang ayahnya. Sedang anaknya yang kecil Anas baru berusia empat bulan tidak mengerti apa yang terjadi di sekitarnya.
Dengan sangat berat Ibu Anwar berkata “Aku telah kehilangan anak yang paling besar dan paling kecil. Saya tidak meninggalkan anak-anaknya. Aku telah kehilangan penyejuk hatiku. Demi Allah cahaya ini telah padam… telah padam…”
Penderitaan memiliki banyak wajah. Meski yang mengikat di antara penderitaan itu adalah darah. Sepekan sebelumnya Riim isrti Ali Abu Riyalah mengenakan gaun pengantin putih. Dan hari ini dia mengenakan baju hitam pekat di sisi pengantinnya.
Dia mengatakan “Saya tidak membayangkan dia meninggalkan saya begitu cepat. Sungguh dia pernah bercanda kepadaku engkau akan mendengar kabar kesyahidanku (mati syahid) suatu hari … namun secepat ini … ya Allah.”
Sedang ibunya melontarkan sumpah serapah kemarahannya kepada pemerintah Arab. “Apakah yang terjadi di leher kami adalah air. Kami meninggal dalam perang paling biadab dan paling kotor yang pernah dikenal dalam sejarah.”
Di luar tembok rumah Abu Riyalah suara jeritan melengking tinggi dari semua tempat. Gang-gang penuh dengan korban meninggal. Dan baju hitam menjadi baju resmi kaum wanita di Jalur