Serangan bulldozer… Kata ini tidak diada-adakan oleh Palestina. Penulis Israel lah yang membuat judul tulisan ini di harian Israel Haaretz. Tulisan ini dibuat untuk membantah apa yang diklaim menteri Keamanan Dalam Negeri Israel yang mewajibkan penggunaan bulldozer sebagai senjata baru menghadapi perlawanan. Dalam pelaksanaanya alat ini mengalami perkembangan dari sisi persenjataanya menyusul aksi dua warga Palestina yang menggunakan alat ini dalam aksi jihadnya di Al-Quds beberapa hari yang lalu.
Symbol penjajahan
Eskavator sebelum digunakan sebagai senjata baru oleh bangsa Palestina dulunya sebuah symbol bagi bangsa Yahudi. Pemerintah Zionis senantiasa menggunakan alat ini di Tepi Barat maupun Jalur Gaza untuk menyingkirkan perumahan bangsa Palestina yang dianggap Israel sebagai kelompok perlawanan atau mereka yang mempunyai hubungan dengan kelompok perlawanan.
Di Al-Quds alat ini digunakan untuk menghabisi rumah-rumah yang dianggap tidak punya izin bangunan. Dan untuk mendapatkan izin tersebut tentunya bukan perkara mudah bagi bangsa Palestina di tengah upaya Israel meyahudikan wilayah tersebut dan mengosongkanya dari warga Palestina.
Penulis yahudi yang bernama Jadon Levi ini menegaskan sebelumnya rakyat Palestina tidak menggunakan eskavator ini sebagai senjata. Mereka baru menggunakan alat tersebut akhir-akhir ini saja. Mengikuti pasukan Israel yang menggunakan alat tersebut dalam berbagai operasinya.
Pada tahun 2004 misalnya sebanyak 10704 warga Palestina kehilangan tempat tinggalnya setelah pasukan Israel membuldozer 1404 rumah milik warga. Mayoritas rumah tersebut berada di Jalur Gaza. Sementara di Kamp pengungsian Jenin serdadu Israel menghancurkan 560 rumah dengan menggunakan eskavator yang dikendarai seorang “Kurdi” sambil menenggak minuman Wiski. Ia jadikan rumah-rumah tersebut sebagai lapangan. Dan dalam operasi “Pelangi di Awan” eskavator-eskavator tersebut digunakan sebagai alat untuk menghancurkan 120 rumah milik warga hanya dalam tempo satu hari.
Penghancur dan Pembunuh
Dimata penulis penjajah Israel telah menanamkan penggunaan eskavator sebagai alat penghancur yang sulit mendapat tandinganya. Alat ini tidak hanya menghancurkan rumah-rumah tetapi juga membunuh warga Palestina yang berusaha mempertahankan hak-haknya. Levi mengatakan “Janganlah engkau katakan alat ini hanya untuk menghancurkan saja tidak untuk membunuh !. Kalau begitu siapa yang membunuh aktivis perdamaian Rachel Cory yang dibunuh sadis oleh pengendara alat ini ? Siapa juga yang membunuh satu keluarga “Shubi” di Qasbah Nablus kakek dua paman ibu dan dua orang anaknya yang meninggal dibawah hentakan eskavator ? Lalu siapa yang membunuh Jamal Fayed warga Kamp pengungsian Jenin yang tubuhnya penuh luka ? bukan kah ini yang disebut terorisme eskavator ??. atau dengan kata lain bangsa Palestina berusaha melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan menggunakan alat yang sama ? ungkap seorang pengamat politik Palestina Hani Mishri.
Perlawanan Suci
Eskavator atau perang eskavator telah banyak mempengaruhi sejumlah tanggapan para pengamat militer ataupun politik Israel. Kurang dari satu bulan lalu tiga Zionis Israel terbunuh oleh dua kali serangan kelompok perlawanan yang menggunakan alat ini. Sementara puluhan orang lainya terluka akibat gempuran alat ini yang menghantam sejumlah mobil di jalan-jalan al-Quds yang sedang padat-padatnya. Inilah mungkin yang menyebabkan para pengamat Israel beranggapan bahwa perlawanan warga Al-Quds sangat berbahaya bagi entitas Israel di wilayah tersebut.
Sikap menerima sebagian besar warga Zionis yang menggap al-Quds sebagai ibu kota satu-satunya bagi Israel mulai berubah. Mereka mulai menganggap suatu kesalahan bila menggabungkan al-Quds timur yang dikuasai Israel sejak tahun 1967 dengan beberapa sebab tertentu. Secara kejiwaan Zionis mulai mempersiapkan dirinya untuk mengubah paradigma sebelumnya yang menganggap al-Quds sebagai garis merah sebagai ibu kota tak terbagi untuk Israel.
Di sisi lain penulis Israel Samuel Haarel memberikan tanggapan terhadap perlawanan suci Palestina pada harian Haaretz Ibrani. Ia menyebutkan faksi-faksi perlawanan yang berasal dari Tepi Barat maupun Jalur Gaza yang telah mengirimkan sebagian besar pasukan berani syahid ke al-Quds mendapat bantuan dari warga Arab al-Quds seperti transfortasi dan penginapan. Ia menambahkan ancaman terror terbaru sepertinya sudah mengalami perubahan. Pada pengamatan di lapangan menunjukan penduduk al-Quds timur adalah pelaku utama operasi terror ini. Walaupun dalam operasinya belum begitu jelas apakah ada organisasi tertentu yang membeking operasi mereka atau tidak namun menurut pengamatan penulis kebanyakan operasi mereka masih bersipat sporadis.
Perubahan paradigma Israel terkait al-Quds
Di pihak lain jurnalis Shalom Jerushalem dalam makalahnya yang dimuat harian Maarev menyebutkan dua kali operasi eskavator yang dilakukan mujahid Palestina menunjukan Israel tidak mungkin dapat menggabungkan al-Quds secara normal. Penggabungan ini akan memakan lebih banyak korban berdarah yang akan diderita puluhan ribu warga permukiman Israel.
Jerushalem menegaskan al-Quds bersatu saja dalam logika masih sulit diterima. Lebih-lebih di lapangan kota ini tidak bisa disatukan. Karena semua warga Palestina yang mendiami kota tersebut menolak menyerahkan begitu saja wilayahnya kepada Israel.
Dalam kaitan ini penulis Palestina Shaleh Na’ami berpendapat penolakan rakyat Palestina dan pilihan Zionis untuk melakukan operasi eskavator kedua di Al-Quds menunjukan bahwa zionis tidak memperhatikan berapa besar ongkos yang akan dia keluarkan untuk penyatuan al-Quds. Inilah yang sedang dilakukan kelompok perlawanan Palestina sebenarnya dalam merubah paradigma Zionis. Yang kemudian memaksa Israel untuk menyiapkan diri guna merubah sikapnya terhadap al-Quds sebagai garis merah. Mereka tentunya tahu betul seberapa besar ongkos yang akan mereka keluarkan untuk membiayai sikap politik mereka terhadap Palestina di al-Quds hingga tak terbatas. Na’ami kemudian menegaskan operasi eskavator kedua di Al-Quds merupakan tanda-tanda perlawanan di masa yang akan datang akan lebih dahsyat lagi di lapangan. Ia adalah awal sebelum segala sesuatunya. Dari sini tampak peran perlawanan yang mendorong perubahan paradigma Israel di Al-Qus. Disamping sebuah kepahitan bila menggantungkan harapan pada perundingan demi perundingan sebagai pilihan perjuangan.
Pandangan Demografi
Wartawan Zionis dan pengagas program Zionis Yeron London melihatnya dari sisi demografi bahwa al-Quds timur akan tetap menjadi duri dalam daging bagi Israel. Ia menegaskan hal tersebut dalam tulisanya di harian Yedeot Aharonot. Ia mengatakan penggabungan al-Quds tidak akan memberikan apa-apa kecuali kelemahan bagi Al-quds sebagai ibu kotaIsrael disamping akan melemahkan otoritasnya di sana. London menambahkan sesuai dengan semua perimbangan yang bisa dijadikan ukuran untuk memantau seberapa besar otoritas Israel terbukti bahwa kedudukan Al-Quds sebagai ibu kotaIsrael akan terus melemah. Di samping itu perbandingan angka antara penduduk Yahudi dan Arab di Al-Quds menunjukan kecondongan bagi kepentingan warga Arab. Ia menjelaskan pada tahun 1967 warga Arab di al-Quds tidak lebih dari seperlima penduduk al-Quds secara keseluruhan. Sementara saat ini 40 % warga Al-Quds timur adalah bangsa Arab. Kalau seandainya warga Palestina setuju bergabung dalam pemilu distrik Israel maka dalam hitungan tahun kepala Distrik Al-Quds akan dipegang warga Arab. Dan dengan demikian Israel akan kehilangan otoritasnya di wilayah tersebut.
Paradoksial dan Berbagai Pertanyaan Lagalitas Israel
Diantara paradoksial terkait dengan operasi eskavator di Al-Quds adalah adanya pemikiran dari sebagian tokoh militer ataupun politik Zionis untuk menghancurkan rumah-rumah para pelaku aksi syahid eskavator dengan cara yang sama (menggunakan eskavator kembali). Laporan menunjukan yang mendukung operasi semacam ini bukan hanya datang dari kalangan kepala dinas keamanan “Shabak” saja bahkan dari menteri perang Ehud Barak dan Perdana Menteri Ehud Olmert pun bersikap demikian. Inilah yang mendorong penulis Israel Amos Harael dari wartawan Haaretz yang mempertanyakan “Apakah penghancuran rumah-rumah untuk membalas dendam akan terulang lagi minimal di al-Quds timur ?”.
Ia sendiri memperkirakan sangat sulit menetapkan hal tersebut. “Dan bukankah penghancuran rumah justru mendorong pada serangan-serangan bunuh diri di masa yang akan datang ?” ungkapnya. (asy)