Khusus – infopalestina -Pameran buku Kairo… Pameran buku Doha… Abu Dhabi… Jeddah… Amman… Tunis.. Kota-kota Arab dan lainnya hari-hari ini tengah mengadakan pameran buku dengan judul yang beraneka ragam. Dengan rasa bahagia dan penuh ceria pameran-pameran buku itu dibuka untuk para pecandu baca.
Di dekat kota-kota itu ada sebuah kota yang kalau mendengar ceritanya selalu terbesit kisah luka dan duka yang terperih. Iya itulah kota Gaza yang tengah tumbuh dan bangkit dari blokade yang membelenggunya. Blokade menjadikannya lumpuh dan tak berdaya untuk menjadikannya sebagai tuan rumah bagi pameran buku yang menarik.
Sembilan bulan sudah Gaza seiring berjalannya siang dan malam serta lambatnya hari-hari didalamnya dihimpit duka dan menjadikan toko-toko bukunya membisu tak bisa berucap selain “Maaf tidak ada!”
Semua perbatasan dipantau pintu perlintasan tidak dibuka dan tiada hentinya pihak penjajah Zionis Israel terus menerus memblokade dan menjatuhkan sanksi. Penelurusan berikut ini ingin menggambarkan kondisi toko-toko buku kota Gaza yang menyediakan majalah cerpen Arab dan dunia riset dan kajian serta buku-buku rujukan. Semua macam dan judul buku itu raib. Rak-rak buku di toko-toko itu tak bisa menyapa para pengunjungnya dengan riang tak ada harapan yang muncul dari rak-rak tersebut.
Shema dan temannya memandang buku-buku yang ada tak bersampul dengan hampa dan kosong. Kami berpindah dari satu rak ke rak lain dari sudut ke sudut lain tapi hasilnya satu”Nihil”.
Dengan suara berat pemuda bernama Samir Olyan menyampaikan kekesalannya karena apa yang ia cari tidak ada. “Toko-toko buku Gaza kosong. Sudah beberapa bulan ini kami bermimpi bisa mendapatkan buku-buku pengetahuan terbaru. Akan tetapi setiap kali kami menanyakan tentang sebuah judul buku selalu nihil hasilnya. Kami terbentur dengan kejamnya blokade yang diterapkan kepada kami” demikian cerita Samir.
Seorang mahasiswa Ammar Yasin mengaku pelaksaan pameran buku di negara-negara Arab lainnya membuatnya tak berdaya. “Betapa hausnya kami akan bacaan-bacaan yang baru. Semua ibukota Arab bergeliat dengan bacaan aneka ragam judul sementara kami hanya bisa memelas dada” cerita Ammar memelas.
Dimana ‘Lelaki Imposible’ itu?
Beberapa tahun terakhir tak ada satupun pameran buku digelar di Gaza. Kota ini hanya menunggu suplai dari luar. Namun untuk tahun ini khususnya karena blokade yang diterapkan atas kota tersebut sejak Juni tahun lalu hingga kini semua buku ilmu pengetahuan seolah-olah melambaikan tangan perpisahan kepada Gaza.
Sebut saja namanya Nazar Hamdan (12) yang gemar membaca novel-novel karya penulis Mesir Nabil Faruq terlihat kesal. “Novel berjudul ‘lekali imposible’ karya Nabil Faruq selalu saya baca dan tak ada episode yang terlewatkan. Blokade ini membuat saya tak bisa lagi mengikuti alur cerita di episode yang paling akhir” kata Nazar sambil marah.
Kakak Nazar yang selalu menemaninya sambil tersenyum ia bercerita”Adham Sobri (pahlawan dalam novel Nabil Faruq) melawan dan memerangi penjajah Amerika di Irak. Barangkali saat ini ia berada di Gaza datang untuk membebaskan kami dari blokade dan deritanya.” Kedua kakak beradik ini berharap duka itu segera berakhir agar bisa mengejar ketinggalan cerita yang mereka gandrungi tersebut.
Cerita lain datang dari Ummu Ghasan Zendah. Ia sedang mencari majalah keluarga khususnya tema yang membahas soal pendidikan. “Setiap awal bulan biasanya saya bisa menemukan beberapa majalah untuk kami baca. Hari ini satupun tak ada. Sampai-sampai anak-anak saya merasa kehilangan atas langkahnya majalah anak-anak seperti Majed dan Micky serta majalah yang lain” demikian cerita sang ibu muda ini.
Judul-Judul Buku Raib
Di tepian jalan para mahasiswa S1 dan S2 juga merasakan kekurangan buku. Ambil contoh saja Khalid Subeh mahasiswa arsitek komputer mengeluhkan langkanya apa yang ia sebut sebagai ‘tangan kanannya’. “Semua judul buku raib. Ini sangat memilukan. Dari bulan ke bulan puluhan judul buku baru diterbitkan darimana kami mendapatkan hal itu?” katanya sambil mengeluh.
Samur Rajab telah mendaftarkan S3 di salah satu universitas Sudan di bidang menejemen kerja. Ia sangat terpukul dengan kosongnya perpustakaan dari buku-buku rujukan. “Saya tidak mendapatkan buku dan riset yang saya inginkan. Ini musibah jika blokade terus dilanjutkan dan berkepanjangan bagaimana saya bisa melanjutkan kuliah saya?” katanya lirih dan pedih.
Hatim el Yazaji pemilik toko buku ‘el Yazaji’ toko buku terbesar di kota Gaza menilai kondisi ini sangat sulit. “Terus terang blokade jahat ini berdampak langsung kepada kami. Rak-rak buku kosong dari judul-judul dan terbitan yang terbaru” katanya tegas.
Para ilmuwan dan pembaca sangat terpukul saat membaca tulisan “Maaf tidak ada!”. Ia menjelaskan bahwa kampus-kampus merasa bersalah karena tidak mampu menutupi kekurangan buku di perpustakaannya dan memberikan yang penting kepada para mahasiswanya.
Dengan hati sedih Yazaji mengatakan”Kami selalu memantau terbitan-terbitan baru dari percetakan dan penerbit buku. Kalau ada pameran-pameran buku di sejumlah ibukota Arab kami selalu hadir dan meramaikannya. Tapi sayang blokade jahat ini membungkam kami untuk bisa keluar dari perlintasan yang digembok.”
Kami Ingin Solusi
Selama 25 tahun berturut-turut toko buku el Yazaji penuh dengan barang dagangannya dan sering keluar ikut pameran buku internasional di Kairo. Tahun ini karena dahsyatnya blokade menjadikannya terkurung sementara ribuan judul buku baru yang ia tunggu-tunggu raib dan meninggalkannya.
Mata mereka bercerita kesedihan. Demikian yang bisa dibaca dari mimik setiap orang datang menanyakan tentang judul buku baru. “Ditutupnya perbatasan bagi distribusi buku-buku mendatangkan sisi negatif bagi para ilmuwan dan pelajar. Tanda-tanda marah dan kesal nampak wari wajah mereka. Sambil berteriak dan marah mereka meminta adanya solusi dan jalan keluar. “Beri kami buku walau harus lewat terowongan” demikian jeritan mereka. Pemilik toko buku terbesar di Gaza ini menegaskan bahwa toko-toko buku Jalur Gaza kekurangan judul buku baru. “Rak-rak buku kosong tak ada buku baru” demikian keluhnya.
Ketergantungan kepada membaca literatur-literatur via internet tidak membuat keresahan pembaca menjadi selesai. “Pertama Gaza yang diblokade mengalami krisis pemutusan aliran listrik yang berkepanjangan sehingga ases internet terganggu. Kemudian membaca dengan media kertas memiliki kekhasan tersendiri yang sulit untuk ditandingi. Dan yang terpenting setiap buku baru yang diterbitkan tidak langsung muncul di dunia maya” kata Yazaji beralasan.
Selamatkan Kebudayaan Gaza
“Kebudayaan di Gaza sedang dalam bahaya” sebuah peringatan yang sering diulang-ulang oleh Yazaji. Ia berharap kepada badan pendidikan internasiona dibawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) UNESCO Liga Arab dan semua lembaga yang memiliki kebijakan di seluruh dunia untuk bergerak mengangkat blokade dari toko-toko buku Jalur Gaza.
Pemilik toko buku el Hani di kota Gaza mengaku dirinya merasa tidak enak dengan para pengunjung toko bukunya. “Mereka menanyakan apakah novel ini ada? Apakah buku ini ada disini? Jawaban tidak membuat mereka kecewa berat” demikian keluhnya. “Buku bagi kebanyakan warga Gaza bagaikan air udara dan makanan” lanjutnya lagi. Ia meminta semua lembaga kebudayaan dunia untuk segera campur tangan membebaskan kehidupam kebudayaan di Gaza “Kebudayaan Gaza hampir sekarat ulurkan tangan kalian!” pintanya kembali.
Bahkan lembaga-lembaga HAM Palestina mengingatkan akan dampak negatif bagi kebijakan blokade dan penutupan semua perlintasan terhadap kebudayaan Gaza. Untuk itu ia meminta lembaga-lembaga hukum dunia komitmen pada sisi moral atas apa yang terjadi pelanggaran HAM di Gaza. “Tidak itu saja tuntutan kami ditindaklanjuti dengan langkah riil dalam melindungi hak baca dan telaah” pintanya mengakhiri laporan ini. (islamonline.net/AMRais)