Tue 6-May-2025

Syarat – syarat Israel Dari Madrid Hingga Annapolis

Kamis 13-Desember-2007

Infopalestina: Sejak dicanangkan dari konferensi Madrid tahun 1991 kemudian kesepakatan Oslo tahun 1993 hingga konferensi internasional yang dilaksanakan pada akhir November 2007 lalu di Annapolis Amerika Serikat proses kompomi politik terhadap konflik Arab – Israel diwarnai oleh banyaknya syarat yang diajukan oleh pihak Zionis Israel. Misalnya dalam konferensi Madrid syarat-syarat yang diajukan Israel di bawah kekuasaan Partai Likud yang dipimpinan Ishak Shamir mencakup sejumlah poin berikut:

1. Pemisahan rute-rute bilateral antara satu dengan yang lainnya. Yakni tidak mengaitkan anara rute Suriyah Palestina Libanon dan Yordania.

2. Menolak adanya utusan independent Palestina. Di mana telah ada penggabungan tokoh-tokoh Palestina dalam utusan Yordania untuk perundingan-prundingan.

3. Tidak mengaitkan antara rute perundingan-perundingan bilateral (yang berkaitan dengan tanah pendudukan) dengan rute beragam perundingan (yang berkaitan dengan persoalan-pesoalan kerja sama regional dan solusi persoalan pengungsi).

4. Tidak menetapkan jadwal waktu perundingan.

Sebagaimana telah diketahui maka pada waktunya syarat-syarat ini telah disambut dengan baik. Dan hasilnya sudah diketahui semua. Di mana pihak Tel Aviv selalu menunda dan mengulur setiap yang berhubungan dengan perundingan dengan dua rutenya bilateral dan berbagai pihak. Di mana rute perundingan yang diambil dari konferensi Madrid tidak dianggal memiliki wujud apapun yang bisa disebut. Dalam dalam perundingan seputar penandatangan kesepakan Oslo Tel Aviv menetapkan sejumlah syarat terhadap orang-orang Palestina. Poin utamanya adalah:

1. Memisahkan perundingan menjadi dua babak. Pertama babak transisi berjangka waktu lima tahun. Mencakup mendirian otoritas nasional Palestina. Yang kedua babak final yang berkaitan dengan perundingan-perundingan atas persoalan-persoalan: pengungsi Palestina al Quds permukiman-permukiman Yahudi perbatasan serta penatanan keamanan dan air. Semua itu belum selesai penetapan waktu berakhir dan pelaksanaannya.

2. Penundaan perundingan seputar persoalan-persoalan solusi final dengan dalih menciptakan langkah-langkah kepercayaan antara kedua belah pihak pada babak transisi. Serta dengan dalih sensitifitas kondisi internal.

3. Berpegang teguh dengan pertimbangan bahwa rujuan perundingan-perundingan ini adalah perundingan-perundingan yang sama. Terpisah dengan rujukan internasional maupun hukum.

4. Orang-orang Palestina harus melucuti diri secara total dari sarana perlawanan kekerasan dan menempuh jalan perundingan guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang diperselisihkan dan menjadi konflik kedua belah pihak.

5. Mengaitkan orang-orang Palestina dengan lampiran-lampiran kesepakatan keamanan ekonomi dan keuangan yang membelenggu otoritas Palestina dan memperdalam ketergantungannya kepada Tel Aviv.

Kesimpulannya bahwa negara Israel setelah 6 tahun dari kesepakatan sama sekali tidak menepati hasil-hasil yang diminta darinya pada babak transisi. Karena Israel tidak menarik diri kecuali dari 27% tanah Palestina yang didudukinya. Bahkan semakin menggiatkan pembangunan permukiman Yahudi. Entitas Israel tidak memberikan perkembangan buat Palestina dan bahwa mengikat gerbang-gerbang internal dan eksternal.

Hasilnya adalah meletusnya intifadhah al Aqsha tahun 2000. Kemudian pendudukan kembali kota-kota Palestina tahun 2002. Sampai akhirnya menggugurkan kesepakatan Oslo secara global dan detailnya (di bawah pemerintahan Ariel Sharon). Selanjutnya penggantian rute ini dengan usulan rencana penarikan pemetaan sepihak yang dilaksanakan di Jalur Gaza pada September 2005 lalu. Tujuannya adalah pembebasan penjajah Israel dari beban control atas satu setengah juta warga Palestina di Jalur Gaza. Baik dari sisi keamanan politik maupun moral.

Dan saat ini bertepatan dengan seruan dilanjutkannya perundingan Palestina – Israel dari Annapolis penjajah Israel menambah dan menambah lagi syarat-syarat yang diajukan tanpa ada kompensasi apa-apa yang diberikan. Di antaranya adalah:

1. Seruan kepada orang-orang Palestina untuk mengakui entitas Israel sebagai negara Yahudi. Sebagai syarat pendahuluan atas pengakuan negara Palestina sebagai tanah air bagi orang-orang Palestina.

Sudah jelas bahwa syarat ini adalah syarat yang paling unik. Bertujuan untuk menghapus persoalan pengungsi Palestina. Dengan menganggap bahwa negara Palestina adalah tempat yang dituntut untuk melaksanakan hak kembali mereka. Cerdiknya lagi syarat ini mengancam ancaman serius tentang ide “transfer” yaitu pengusiran orang-orang Palestina yang menjadi warga negara di negara Yahudi ke negara Palestina. Dengan dalih itu adalah tanah air kebangsaan mereka. Sebagaimana dituntut tokoh radikal Israel Evigdor Lieberman ketua partai garis keras Yahudi “Israel Beitnu”. Atau paling tidak mengeluarkan mereka orang-orang Palestina dari lingkup kewarganegaraan Israel dengan menggap mereka sekadar sebagai pendatang yang tinggal dengan mendapatkan hak-hak sipil. Sebagaimana diusulkan belakangan oleh Menlu Israel Tzepi Livni.

2. Pengambilan pengakuan Arab dan Palestina khususnya berkaitan dengan pendirian negera Palestina sebagai akhir bagi konflik dan akhir bagi tuntutan Palestina dalam bidang konflik dengan entitas Zionis Israel. Itu artinya bahwa pendirian negara Palestina bagi Israel seyogianya terjadi pada akhir cerita. Bukannya dibuka pintu bagi tuntutan-tuntutan lain di mada mendatang seperti hak kembali pengungsi Palestina atau ganti rugi atas bencana yang ditimbulkan oleh Israel terhadap orang-orang Palestina dan di negara-negara Arab yang berdekatan. Dan juga masalah perbatasan air dan masalah-masalah lainnya.

3. Penginterpretasian hak kembali pengungsi Palestina hanya sebatas kembali mereka ke negara Palestina. Dengan kesiapan keterbuaan pihak Tel Aviv atas kemungkinan melihat pemberian andil dalam masalah ini. Berupa kembalinya para pengungsi Palestina untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.

4. Asumsi bahwa penerimaan Israel untuk memberikan kemudahan kepada orang-orang Palestina di wilayah pendudukan dan kesiapan Israel untuk mengakui pendirian negara Palestina seyogianya disertai dengan keterbukaan negara-negara Arab untuk kesempatan bagi normalisasi hubungannya dengan Israel. bersamaan dengan langkah-langkah yang pasti dan bukan setelahnya.

5. Menghubungkan pemberian hasil apapun terkait dengan proses kompromi yang menjamin keamanan penjajah Israel. Inilah yang dimaksud dengan usulan kembali rencana “peta jalan”. Terlebih rencana ini mewajibkan otoritas Palestina melakukan langkah-langkah memburu teroris (dengan termonilogi Israel). Dengan imbalan Israel melaksanakan apa yang dituntut darinya pada tanap pertama (pembekuan pembangunan koloni permukiman pembukaan perlintasan-perlintasan keamanan dan pembukaan institusi-institusi di al Quds).

6. Di atas semua itu negara penjajah Israel menganggap pelaksanaan konferensi Annapolis hanyalah sekedar pembuka bagi dilanjutkannya perundingan-perundingan Palestina – Israel dan hanya itu. Dalam artian bahwa Israel menolak membahas dikeluarkannya piagam yang menentukan hasil perundingan-perundingan tersebut. Pada dasarnya Israel menolak membahas konferensi ini sebagai solusi bagi persoalan-persoalan seperti masalah al Quds pengungsi Palestina permukiman-permukiman Yahudi perbatasan serta penataan keamanan dan air. Pembahasan terhadap persoalan-persoalan ini seyogianya dilaksanakan setelah usainya konferensi. Secara khusus setelah pelaksanaan tahap awal dari rencana peta jalan yang mewajibkan otoritas Palestina berkomitmen menghentikan perlawanan (atau memerangi teroris menurut terminology Israel).

7. Israel menolak berkomitmen terhadap apapun jadwal waktu untuk mengakhiri perundingan. Atau untuk melaksanakan hasil-hasil perundingan yang mungkin berhasil dicapai. Demikianlah berbagai data mengisyaratkan pentingnya devaluasi (penurunan) tingkat prediksi dari konferensi Annapolis dan tidak menggantungkannya secara total. Karena entitas Zionis Israel pada hakikatnya masih belum matan untuk melakukan proses kompromi. Meskipun banyak yang diberikan oleh pihak Palestina. Hal ini diperkuat oleh pernyataan-pernyataan Ehud Olmert dan menlunya. Disamping pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Ketua partai Likud Ehud Barak yang juga partner utama dalam pemerintahan koalisi Israel.

Dari daftar syarat-syarat yang ada mungkin juga bisa disimpulkan bahwa Tel Aviv tidak ingin atau tidak siap untuk pergi jauh dalam proses kompromi. Hal ini didasarkan pada realita-realita berikut:

1. Bahwa Israel lebih banyak melangsungkan perundingan dengan dirinya sendiri dari pada berunding dengan orang-orang Palestina. Ehud Olmert nampaknya seakan dia mengalahkan para pesaingnya dari dalam partainya sendiri Kadima dan juda dari partai-partai lain (terutama partai Buruh Likud Shas dan Israel Beitnu).

2. Bahwa Israel masih mengingkari pihak lain yaitu orang-orang Palestina. Israel tidak melihat mereka dengan pandangan yang cukup. Israel sama sekali tidak menganggap dirinya sebagai negara penjajah. Maka bagaimana mungkin mempersepsikan proses perundingan berjalan atas latar belakang logika seperti ini?!

3. Bahwa tekanan internasional dan regional dan itu bukan pada tingkat yang sesuai dari sisi kekuatan dan kegigihan mendorong Israel untuk berpegang teguh pada semangat arogansi dan fanatis. Dalam artian bahwa Israel belum sampai pada tingkatan yang sesuai sehingga memaksa Israel untuk memastikan urusannya dalam melaksanakan hasil-hasil yang dituntut darinya di dalam proses kompromi.

4. Bahwa harga internal yang dibayar Israel untuk melanjutkan pendudukan dan tekanan bukan dengan biaya yang membahayakannya untuk mengakhiri pendudukan. Terutama di tengah-tengah kelemahan keterpecahan dan kebingungan yang terjadi di ranah Palestina. (seto)

Tautan Pendek:

Copied