Mon 12-May-2025

Konferensi Nasional Palestina Jawaban Tantangan Masa Depan Palestina

Jumat 29-Juni-2007

Auni Furshakh

El-Haleej Emirat

Bangsa Palestina dan Arab saat ini menghadapi tantangan yang menentukan nasib eksistensi mereka. Bahkan kali ini paling berbahaya dalam sejarah konflik bangsa-bangsa. Banyak persepsi dan analisis tentang pertumpahan darah hancurnya prana nasionalisme menduanya pemerintahan yang terjadi di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Respon pun beragama dari pertanyaan: apa yang harus dilakukan bangsa Arab Palestina terhadap bangsanya yang dijajah dan terpecah?

Tak diragunkan konflik antara pimpinan faksi-faksi Palestina meski menjurus kepada peperangan tidak membuat bangsa Palestina aib atau citranya tercoreng dakan ketegarannya dalam perlawanan. Dalam hukum sejarah tidak ada gerakan nasional atau keagamaan yang tidak terlibat dalam konflik bersaudara dalam wewenang pengambilan keputusan. Perang Jamal dan Siffin dalam sejarah Arab Islam dan koflik pimpinan dalam sejarah revolusi Perancis adalah contoh paling dekat. Orang bilang “revolusi seperti kucing yang memakan anak-anaknya”.

Di samping itu konflik faksi-faksi perlawanan Palestina tidak keluar dari frame efek jangka panjang periode Oslo yang kering mewariskan kerusakan dan koalisi jahat dengan Amerika Israel. Ditambah politik belah bambu Amerika terhadap Palestina. Ketika peperangan berdarah di Jalur Gaza meletus kemudian media Amerika membicarakan jatuhnya “seruan mendirikan negara Palestina” dan diganti dengan dua negara Hamas di Jalur Gaza dan dua Fatah di Tepi Barat maka tidak obyektif meyakini adanya peran koalisi Amerika Israel dalam memicu fitnah perang itu. Kemudian mendorong dihapusnya konflik Arab Israel dengan menghilangkan hak-hak Palestina yang legal karena hal itu dianggap sebagai syarat mendirikan “proyek Timur Tengah Baru”.

Ketika ini menjadi realita “saudara-saudara Palestina yang sedang bermusuhan” maka semua keputusan dan tindakan yang diambil oleh pemerintahan Palestina dalam hal ini dipimpin Mahmod Abbas tidak lagi logis dan obyektif karena menilai pihak Palestina yang melakukan perlawanan sebagai bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Apalagi Abbas melupakan langkah yang sudah pernah ditempu berupakan keteledoran dan kesalahan akibat kesepakatan Oslo termasuk menganggap legal pencaplokan 78% tanah Palestina.

Dengan tetap menghormati seruan Kementerian Luar Negeri Arab untuk berdialog dengan prinsip supremasi konstitusi pemerintahan dan parlemen Palestina untuk menemukan solusi dengan jaminan-jaminan Arab bisa jadi tidak keluar dari esensi kesepakatan Mekah yang didukung Arab. Namun prakarsa ini tidak akan banyak memberikan keberhasilan memecahkan masalah. Sebab bukan saja sejumlah penasehat presiden Abbas dan jubirnya sudah menolak ajakan ini namun ajakan ini bertentangan dengan syarat Amerika Israel untuk memberikan ganti dari kegalan Bush di Irak dan kegagalan Israel di Libanon.

Tak ada perbedaan bahwa ajakan menjatuhkan pemerintahan otoritas darurat secara teori benar karena ia divonis oleh keputusan Amerika Israel. Namun penerapannya membutuhkan alternative nasional yang mampu bangkit memanggul beban masyarakat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Jika prakarsa ini berhasil mungkin sebatas gencatan senjata sementara seperti halnya kesepakatan Mekah. Jika pemerintah otoritas berhasil dijatuhnya dan membebankan rakyat Palestina kepada pemerintahan penjajah Israel untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka seperti yang ditetapkan kesepakatan Jenewa IV maka itu bukan respon efektif menjawab tantangan nasib Palestina sekarang. Ini yang seharusnya tidak diharapi rakyat Palestina jika mereka tidak kehilangan PLO yang kini kehilangan peran memantau parlemen dan pimpinan kebersamaan.

Jadi jelas respon seharusnya terhadap tantangan yang dihadapi oleh rakyat Palestina yang penuh semangat perlawanan adalah dengan melakukan Konferensi Nasional yang diwakili oleh semua kekuatan politik dan pemikiran Palestina untuk membahas restrukturisasi parlemen nasional Palestina berdasarkan pemilu jika mungkin reefektifitas PLO dan lembaga di bawahnya menjauhi revisi piagam nasional tahun 1996 membentuk mahkamah nasional untuk mengkaji semua pelanggaran-pelanggaran sejak penerapan program 10 tahun 1973 hingga sesudah peperangan “saudara-saudara Palestina yang bermusuhan” di Jalur Gaza dab Tepi Barat dan meletakkan strategi menagemen konflik dengan koalisi Amerika Israel. Tidak ada perbedaan bahwa penyelenggaraan konferensi semacam ini akan menghadapi problema penentuan tempat penyelenggaraan yang bisa menjamin kebebasan penuh kepada peserta dan penyediaan logistis. Siapkan para elit di Palestina melakukan ini?(hatb)

Tautan Pendek:

Copied